Panca Sradha 5 konsep dasar keyakinan Hindu
Panca Sradha – Secara estimologi kata sradha berasal dari akar kata “srat” atau “srad” yang berarti hati, disambung dengan kata “dha” yang artinya meletakkan. Sehingga arti keseluruhan adalah meletakkan hati seseorang pada sesuatu. Ada pula yang mengartikan “srat” sebagai kebenaran (Yaskarya : Niganthu).
Daftar isi
Pengertian Panca Sradha
Panca artinya lima dan Sradha artinya sikap pikiran yang didasarkan pada kebenaran atau keyakinan, jadi Panca Sradha berarti lima Keyakinan yang mendasari segala aspek kehidupan dalam agama Hindu. Lima keyakinan tersebut meliputi;
- Brahman.
- Atman.
- Karma Phala.
- Punarbhawa.
- Moksha.
“Çraddhaya satyam apnoti, çradham satye prajapatih.”
artinya : dengan sradha orang akan mencapai Tuhan, Beliau menetapkan, dengan sradha menuju satya. (Yajur Veda XIX.30)
Kerinduan akan suatu tujuan akhir dan Percaya akan adanya suatu “sarana” dalam pencapaian tujuan tersebut menjadi dasar dari konsep Panca Sradha.
Dalam kitab-kitab Brahmana. Tujuan manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi. Jalan terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan yadnya. Dalam pemujaan yadnya dilakukan dengan menggunakan mantra-mantra pendeta. Digunakan sistem timbal balik daksina atas jasa-jasa pendeta. Tidak dikenal sistem pengekangan moral bagi umat karena doktrin upacara yadnya dan peran pendeta yang hegemonik. Sifat pelaksanaan upacara adalah formal, eksternal dan impersonal.
Dalam kitab-kitab Upanisad. Tujuan akhir umat adalah moksa. Sarana pencapaian adalah perenungan, meditasi, yoga dengan bimbingan guru yang Brahmanistha. Pengorbanan yang dilakukan adalah pengorbanan ke”aku”an dari unsur diri yang paling dalam. Bentuk ritual adalah tapa (pengekangan diri dan kesederhanaan) serta prasadham (anugrah tuhan).
Dalam kitab Bhagawadgita. Tujuan tertinggi adalah manunggal dengan Tuhan, saat hidup maupun saat telah meninggalkan badan jasmani. Sarana pencapaian adalah dengan Niskamakarma Yoga yaitu pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, tanpa keakuan, dengan cinta kasih, bhakti dan pasrah pada tuhan. Selain konsep diri yang imanen, juga dikenal konsep diri yang transendental.
Bagian – bagian Panca Sradha
Brahman: Percaya kepada Tuhan (Brahman)
Umat Hindu meyakini bahwa Tuhan sesungguhnya hanya satu atau tunggal yang kemudian disebut Brahman. Brahman secara etomologi berasal dari kata “brh” yang artinya meluap atau melingkupi semua atau dengan
Chandogya Upanisad III.14.1 menegaskan:
Atharvaveda IV.1.1 menyatakan:
“Brahma jajnanam prathanam purastat” artinya: Brahman (Tuhan) adalah yang pertama dari yang ada di alam semesta.
Dalam ajaran Hindu, kata Brahman menunjukkan konsep ke-tak terbatasan. Sebagai penjelasan atas Brahman, dikenal konsep Tri Suparna yang mengkategorikan pemahaman Brahman pada tiga bentuk. Bentuk pemahaman yang pertama adalah Brahman yang mutlak yang terlepas dari ciptaan apapun, dalam bentuk ini ia disebut dengan Brahman.
Bentuk pemahaman yang kedua adalah Brahman yang bermanifestasi pada alam semesta, dalam bentuk ini ia disebut dengan Wiraj. Bentuk pemahaman dimana Brahman dianggap sebagai roh yang bergerak dimanapun juga di jagatraya ia disebut dengan Hiranyagarbha. Apabila ditambahkan pemahaman Brahman yang berpribadi dan mengambil peran sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur maka ia disebut dengan Iswara yang diwujudkan dalam bentuk ritual pemujaan Tri Murti.
Untuk memudahkan pengertian tentang Brahman, dibuat ukuran-ukuran tertentu yang lebih mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Namun ada masalah besar dalam penentuan ukuran-ukuran tersebut. Hal ini terjadi karena setiap ukuran yang dibuat akan bersifat ambivalen.
Ukuran-ukuran yang ditujukan untuk menunjukkan ke-tak terbatasan, justru menjadi batasan bagi Brahman. Untuk memudahkan dalam kehidupan ritual, dikenal dua model penggambaran Tuhan yaitu Nirguna Brahman (Tuhan tanpa atribut) dan Saguna Brahman (Tuhan dengan atribut).
Nirguna Brahman sangat sulit dipuja oleh orang kebanyakan, sehingga dinyatakan sebagai “Neti neti” (bukan ini, bukan itu). Karena itu dalam hampir semua sastra Weda, Tuhan digambarkan sebagai Saguna Brahman. Segala sifat dan atribut yang dikenakan pada Brahman pada dasarnya adalah sebagai pendekatan kearah ke-tak terbatasan-nya.
Dalam kitab Narayana Upanisad diterangkan Tuhan dengan nama Narayana,
“Narayana ewedam sarwam yadbutham yacca bhawyam niskalanko niranjano nirwikalpo nirakhyatah suddho dewo eko narayano na dwi tiyo sti kascit.”
Semuanya adalah narayana, baik keberadaan yang ada ini maupun yang akan ada, Narayana hanyalah satu yang tanpa dosa, tak berubah dan tak dapat digambarkan, yang murni dan ilahi, yang tak ada duanya.
Nama tidaklah penting dalam konsep Brahman, sebagaimana yang dinyatakan dalam Rg Weda
“Indram mitram warunamagnimahur
Atho diwyah sa suparno garutman
Ekam sad wipra bahudha wadanty
Agnim yamam matarisvanam ahuh“
Artinya: Mereka menamakannya indra, mitra, waruna, agni dan garutma yang bersayap indah. Karena para bijak terpelajar menyebut yang satu itu dengan banyak nama, dimana yang mulia juga disebut dengan yama (yang menakdirkan) dan matariswan (nafas kosmis). – Rgveda I.164.46
Pada dasarnya ada dua konsep penting tentang Brahman yaitu konsep Brahman yang monotheis dan konsep Brahman yang Acintya (tak terpikirkan, ke-tak terbatasan)
Atman: Percaya pada Atma
Kata Atman, diambil dari kata “an” yang berarti bernafas. Setelah secara bertahap diperluas, maka artinya kemudian menjadi meliputi kehidupan, roh, jiwa.
Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Atman berasal dari bahasa Sansekerta kata yang berarti dalam diri, semangat, atau jiwa. Dalam filsafat Hindu, atman adalah prinsip utama yang paling hakiki dari identifikasi diri di luar individu dengan fenomena dan esensi dari setiap individu.
Untuk mencapai Moksa (pembebasan), seorang harus memperoleh pengetahuan diri (atma Gyan). Untuk aliran pemikiran yang berbeda, realisasi diri adalah, bahwa diri sejati seseorang (J?v?tman) dan realitas tertinggi (Brahman) merupakan sepenuhnya identik (Advaita, Non-Dualis), sangat berbeda (Dvaita, Dualist), atau secara bersamaan tidak berbeda namun berbeda (Bhedabheda, Non-Dualist + Dualist).
Agama Hindu percaya bahwa ada atman di setiap hidup makhluk yang disebut jiwa. Ini adalah perbedaan utama dengan doktrin Buddhis tentang Anatta, yang menyatakan bahwa tidak ada jiwa atau diri.
“aham atma gudakesa, sarwabhutasaya-sthitah, aham adis ca madhyam ca, bhutanam anta eva ca”.
Artinya : O, Arjuna, aku adalah atma, menetap dalam hati semua makluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir daripada semua makluk.
–Bhagawadgita X.20
Karma Phala: Percayaan pada Hukum Karma
Secara etimologi karmaphala berasal dari kata karma yang berarti perbuatan dan phala yang berarti hasil. Jadi karmaphala berarti hasil dari perbuatan yang kita lakukan. Istilah Karma adalah prinsip spiritual sebab dan akibat, secara deskriptif disebut prinsip karma, di mana niat dan tindakan seseorang (sebab) mempengaruhi masa depan individu tersebut (akibat), niat baik dan perbuatan baik berkontribusi pada karma baik dan kelahiran kembali yang lebih bahagia, sementara niat buruk dan perbuatan buruk berkontribusi pada karma buruk dan kelahiran kembali buruk.
Berdasarkan waktu diterimanya hasil dari perbuatan seseorang karmaphala dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Sancita Karma phala: Perbuatan dimas lampau/kehidupan lalu pada kehidupan sekerang kita terima hasilnya.
- Prarabda karma phala: Perbuatan sekarang sekarang juga kita terima hasilnya.
- Kryamana karma phala: Perbuatan pada kehidupan sekarang belum habis diterima hasilnya maka akan kita terima dapa kehidupan yang akan datang.
Purnabhawa: Percayaan pada Samsara (kelahiran kembali)
Punarbhawa berasal dari kata punar yang berarti kembali dan bhawa yang berarti menjelma / lahir. Jadi punarbhawa adalah kelahiran kembali. Punarbhawa juga sering disebut dengan Reinkarnasi atau Samsara.
“bahuni me vyatitani janmani tava carjuna, tany aham veda sarvani na tvam vettha parantapa”.
Artinya: Banyak kelahiran-Ku dimasa lalu, demikian pula kelahiranmu, Arjuna: semuanya ini Aku mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak, wahai Arjuna. -Bhagawadgita IV.5
Moksa: Percaya terhadap Kehidupan yang Kekal
Agama Hindu mengajarkan umatnya jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam setiap kehidupan yaitu moksha dan bukanlah surga ataupun neraka. Moksa merupakan tujuan akhir dari umat Hindu. Moksa sama artinya dengan kebahagian tertinggi atau abadi. Ada beberapa tingkatan dalam moksa tersebut, diantaranya :
- Jiwamukti: Tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yg dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmannya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya (pengaruh duniawi). Dimana keadaan atma seperti ini disamakan dengan Samipya dan Sarupya.
- Widehamukti: Tingkatan kebebasan yg dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atma telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yg bersangkutan masih kena pengaruh maya yg tipis. Tingkat keberadaan atma dlm posisi ini disetarakan dgn brahman, namun belum dpt menyatu dengan-nya, sbg akibat dari pengaruh maya yg masih ada. Widehamukti dpt disejajarkan dgn salokya.
- Purnamukti: Tingkat kebebassan yg paling sempurna. Pada tingkat ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dgn Brahman. Setiap orang dpt mencapai posisi ini, apabila yg bersangkutan sungguh-sungguh dgn kesadaran dan hati yg suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Posisi Purnamukti dpt disamakan dgn Sayujya.
Berdasarkan pada keadaan tubuh ketika mencapai moksa, tingkatan-tingkatan moksha dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu;
- Moksa – meninggalkan tubuh/wadah/jasad tanpa tahu kapan ajal kematian.
- Adi Mokssa – meninggalkan tubuh/wadah/jasad, namun sudah tahu waktu kematian.
- Parama Moksa tanpa meninggalkan tubuh/wadah/jasad.
(Hindu.web.id – Wikipedia – babadbali – pustaka Hindu)
Ke lima unsur ajaran Panca Sradha ini tentunya dapat membantu setiap makhluk hidup terutama manusia untuk bisa mencapai tujuan utama atau tujuan akhir dalam agama Hindu yaitu, moksa. Sebagai umat Hindu kita harus bisa mengaplikasikan dan mengimplementasikan setiap ajaran Panca Sradha dengan baik dan benar. Dengan demikian setiap makhluk hidup dapat mencapai tujuan akhir yang di harapkan sesuai dengan ajaran Panca Sradha.