Rahasia terbesar kasta
Banyak masyarakat non hindu menganggap bahwa ajaran Hindu diskriminatif karna membeda – bedakan status sosial seseorang berdsarkan kasta, namun pada kenyataanya tidak ada satupun Dalam sastra hindu menyebut istilah “kasta”. Lalu kenapa orang – orang melabeli Hindu dengan istilah “kasta”? Berikut ini penjelasannya:
Daftar isi
Pengertian kasta
Kasta adalah istilah orang eropa untuk mengelompokkan masyarakat antara kaum bangsawan dan kaum budak. Kasta berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis (caste) yang artinya adalah ras, keturunan, atau suku. (https://wikipedia.org)
Kasta dalam Veda
Istilah kasta digunakan oleh orang – orang eropa untuk mengelompokkan masyarakat india saat negara tersebut sedang dijajah oleh bangsa eropa. Istilah kasta sukses diterapkan di negara tersebut, hal ini karena dalam tradisi masyarakat india yang mayoritas hindu yang juga menerapkan Ajaran Veda yang di sebut Varna (profesi/pekerjaan). Sedangkan tidak ada satupun sastra atau kitab Veda yang menyebutkan istilah kasta. Namun dalam perkembangannya istilah kasta menjadi lebih populer dibandingkan istilah Varna.
Rigveda Purusha Sukta
Penerapan paling awal untuk penggologan formal menjadi empat kelas sosial (tanpa menggunakan istilah varna) muncul di akhir Rigvedic Purusha Sukta (RV 10 .90.11-12), yang memiliki kelas Brahman adalah mulutnya, Rajanya (bukan Kshatriya), Waisya dan Sudra membentuk mulut, lengan, paha dan kaki pada pengorbanan Purusha, masing-masing:
Rv. 10. 90.11: Ketika mereka membagi Purusa, berapa porsi yang mereka buat?
Apa yang mereka sebut mulutnya, lengannya? Apa yang mereka sebut paha dan kakinya?
Rv. 10. 90.12: Brahmana adalah mulutnya, dari kedua lengannya Rajanya dibuat.
Pahanya menjadi Waisya, dari kakinya sudra dihasilkan.
Bhagawad Gita
Bhagavad Gita menggambarkan profesi, tugas dan kualitas anggota varna yang berbeda yang disebut dengan istilah Catur Warna(Varna).
Bhagawad Gita 18:40
“Tidak ada entitas di bumi, ataupun di surga di antara para Deva, yang tidak memiliki ketiga Guna ini, yang lahir dari Prakriti. Dari Brâhmanas dan Kshatriyas dan Vaishyas, seperti juga Sudras, tugas-tugas dibagikan sesuai dengan Guna yang lahir dari sifat mereka sendiri”.
Bhagawad Gita 18:41
“para br?hma?a – cendekiawan, pendidik, pendeta, dan lain sebagainya; para k?atriya – pengabdi, pembela negara dan bangsa; vai?ya – para pengusaha; dan ??dra – para pekerja, buruh, semuanya berkarya/bekerja sesuai dengan kewajiban dan mengikuti sifat dasar mereka”.
Bab 18:42 – 18:44 menjelaskan tentang pembagian Catur warna sesuai dgn jenis pekerjaan.
“Pengendalian pikiran dan indera, kesederhanaan, kesucian, kesabaran, dan juga kejujuran, pengetahuan, realisasi, keyakinan di akhirat – ini adalah tugas para Br?hmana, yang lahir dari sifat (mereka sendiri). Kecakapan, keberanian, ketabahan, ketangkasan, dan juga tidak lari dari pertempuran, kemurahan hati dan kedaulatan adalah tugas para Ksatria, yang lahir dari sifat (mereka sendiri). Pertanian, pemeliharaan ternak dan perdagangan adalah tugas para Vaishya, yang lahir dari sifat (mereka sendiri); dan tindakan yang terdiri dari pelayanan adalah tugas para Sudra, yang lahir dari sifat (mereka sendiri)”
Bhagawad Gita Bab 18:46
“Kesempurnaan Tertinggi tercapai oleh seseorang yang menunaikan kewajibannya sesuai dengan sifat alami atau potensi dirinya, dengan semangat berbakti pada Dia Hyang adalah Asal-Usul semua makhluk, dan Meliputi alam semesta.”
Bhagawad Gita Bab 18:47
“Berkarya sesuai sifat alami atau potensi diri, walau terasa tidak sempurna – sesungguhnya lebih baik dan mulia dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat alami dan potensi diri, walau tampak sempurna.”
Poin terpenting yang dijelaskan dalam sloka tersebut adalah setiap orang dapat mencapai kesempurnaan tertinggi ketika telah menunaikan kewajibannya sesuai dengan sifat alami atau potensi dirinya. Tidak terbatas apakah dia seorang brahmana, kshatriya, vaisya atau sudra, tidak ada perbedaan/batasan atas hak dan kewajiban seseorang untuk memilih jalan menuju kesempurnaan. Hal ini juga menepis anggapan orang-orang bahwa weda hanya untuk orang-orang tertentu saja.
Dalam kitab suci Weda “Varna” dibagi dalam empat kelompok yaitu:
- Brahmana : adalah profesi/pekerjaan seseorang sebagai rohaniawan atau guru sekolah atau penasihat spiritual kerajaan/negara.
- Kshatriya : adalah orang – orang yang ada dalam pemerintahan kerajaan/negara (Raja, mentri atau para prajurit) tugasnya melindungi negara dari ancaman peperangan atau musuh.
- Vaisha: adalah profesi seseorang yang bekerja dalam badan usaha negara dengan tugas utama mengerakan perekonomian negara termasuk juga para pengusaha, saudagar ataupun para pedagang.
- Shudra: adalah profesi seseorang sebagai pelayan atau pekerja kasar.
Seiring dengan perkembangan jaman istilah kasta dan Varna seolah – olah terlihat sama meski sebenarnya asal usul istilah ini sebenarnya berasal dari wilayah, daerah atau negara yang berbeda.
Perbedaan kasta dan Varna
Istilah Kasta berasal dari para misionaris eropa yang digunakan untuk membedakan atau membatasi pergaualan keluarga/kerabat dan keturunannya antara kelompok bangsawan, pengusaha dan para budak. Kasta berhubungan erat dengan silsilah atau keturunan. Sedangkan istilah Varna ditemukan dalam kitab Veda seperti Bhagawad Gita yang bertujuan untuk pengelompokan masyarakat berdasarkan pada sifat, guna, profesi/pekerjaan yang dipilih berdasarkan kemampuan dan tidak ada hubungannya dengan keturunan atau silsilah.
Misal: seorang anak yang lahir dari keluarga brahmana, tidak bisa nantinya disebut sebagai Brahmana jika dia ternyata memilih untuk menjadi seorang pedagang(Vaishya) atau menjadi tentara(Kshatriya) ataupun jika anak tersebut memilih untuk menjadi pelayan(Shudra).
Kenapa Veda mengajarkan Varna?
Tujuan Veda mengajarkan Varna tentunya untuk kesejahteraan dan kedamaian sebuah negara. Maksudnya?? Bayangkan jika dalam sebuah negara hanya ada kshatrya saja lalu siapa yang akan menjalankan perekonomian? siapa yang akan Melakukan pekerjaan pembangunan? siapa yang akan menjadi guru atau pengajar? Artinya setiap golongan ini saling mengelengkapi satu sama agar sistem dapat berjalan dengan baik demi kemakmuran sebuah negara. Inilah tujuan utama dari ajaran Veda tentang Varna.
Kasta dalam budaya Bali
Jika kita menelusuri sejarah Bali kuno istilah kasta baru muncul ketika Majapahit menguasai Bali sekitar abad ke 14. Istilah itu disebut Tri Wangsa, sistem ini dibawa oleh orang-orang Majapahit yang kemudian menetap di Bali. Triwangsa adalah tiga golongan sosial dari orang-orang yang memiliki hubungan pribadi dengan raja-raja Majapahit, baik secara politis maupun genealogis, seperti golongan guru spiritual (Brahmana), pejuang/abdi Raja (ksatrya), para pengusaha/pedagang (Vaisha) sedangkan golongan ke-4 disebut sudrawangsa (sudra) yaitu golongan diluar Triwangsa atau orang orang kebanyakan penduduk asli Bali,
yang kemudian disebut sebagai jabawangsa.
Golongan sudrawangsa ditempatkan pada lapisan yang terendah, dengan hal-hal politik, sosial, dan bahkan kultural yang sangat terbatas dibandingkan dengan yang diperoleh golongan
triwangsa. Perbedaan hak ini sering melahirkan perselisihan antara golongan sudrawangsa dan triwangsa. Perselisihan antara golongan sudrawangsa dengan triwangsa berkembang menjadi konflik kasta.
Menurut Henk Schulte Nordholt – Bali an Open Fortress 1995-2005, “kegagalan kerajaan Mengwi membangun kembali Majapahit, menjadi titik tolak dari semakin ketatnya pemisahan antara golongan triwangsa dan golongan sudrawangsa di Bali”. Perdebatan atau Konflik kasta ini sesungguhnya sudah ada sejak zaman dulu. I Gusti Ngurah Bagus dalam bukunya: Pertentangan Kasta dalam bentuk Baru pada Masyarakat Bali, berpendapat; bahwa konflik kasta dapat dilacak sampai sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda, namun tersembunyi di dalam dongeng, mite, dan karya-karya mistis lainnya. Konflik dalam wujud yang betul-betul nyata berlangsung tahun 1910, terjadi di Karangasem dan pada tahun 1911 di desa Beng, Gianyar.
Apakah Varna dan kasta adalah sama?
Dalam perjalannya Ada kesalah pahaman dalam penerapan Varna dimana Varna di identikkan dengan kasta. Varna dan kasta sebenarnya sangat berbeda dari segi konsep ajaran. Masyarakat yang begitu bangga lahir dari keluarga ksatria ataupun brahmana kemungkinan takut kehilangan gelarnya jika nantinya keturunan mereka harus menjadi pelayan sehingga di sebut sudra dan harus melakukan pekerjaan kasar hal ini memunculkan gagasan untuk mempertahankan gelarnya dengan melakukan kebohongan besar dan menyetujui istilah kasta. Lalu bagaimana menurut Anda?
Lihat artikel lainnya
- 10 Mantra puja sehari-hari untuk keselamatanMantra puja sehari-hari Mantra Puja – Sebelum beraktifitas ada baiknya kita menyebut nama tuhan… Baca Selengkapnya: 10 Mantra puja sehari-hari untuk keselamatan
- Doa ngejot yang wajib diketahuiDoa ngejot – doa setelah selesai masak Doa Ngejot – Setelah selesai memasak kita… Baca Selengkapnya: Doa ngejot yang wajib diketahui
- Shiva Mantra dan Stotra yang paling penting untuk diketahuiShiva Mantra – Mantra Suci untuk menyembah Dewa Siwa Cara paling efektif untuk menyenangkan… Baca Selengkapnya: Shiva Mantra dan Stotra yang paling penting untuk diketahui