Bhagavad Gita merupakan sebuah pesan ajaran Shri Krishna kepada Arjuna ketika berada dalam keadaan posisi perang di medan Kurukshetra. Sebuah dialog yang terjadi yang dituliskan oleh Rsi Vyasa. Popularitas sastra ini banyak mengundang Komentar tokoh dunia, Mempelajari Bhagavad Githa bisa menambah pengetahuan kita tentang sosok Arjuna yang sedang kebingungan. Sosok Arjuna yang bimbang untuk menentukan sikap. Disinilah peran penting yang dibawakan oleh Shri Krishna. Peran seorang pembimbing yang menunjukkan jalan, namun selanjutnya Arjuna sendiri mesti mengambil sikap dan menentukan sendiri bagaimana menjalani peran yang telah diberikan Keberadaan.
Berikut ini beberapa Komentar tokoh dunia tentang Bhagavad Gita dikutip dari berbagai sumber.
Bung Sukarno
“Saya sering, bahkan sudah lima kali membaca kitab Bhagavad-Githa dari A sampai Z. Saya kagu, Bhagavad-Gita ternyata bukan kitab klenik. Ternyata bukan kitab untuk duduk di dalam kamar bersemadi. Tetapi Bhagavad-Githa adalah dalam bahasa asing “Evangelie van De Daad”. Githa adalah nyanyian perbuatan, nyanyian amal, nyanyian fi’il.” –Ir. Sukarno ( Presiden RI Pertama)
Albert Einstein
“Ketika saya membaca Bhagavad-Githadan merenungkan bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta, segala sesuatu yang lain menjadi sangat tidak berarti.” –Albert Einstein, (Saintis)
Mahatma Gandhi
“Setiap kali keraguan menghantui diriku, setiap kali kekecewaan menatap wajahku, dan aku tidak melihat setitik pun terang harapan, aku berpaling pada Bhagavad-Githa dan menemukan ayat yang dapat menghiburku, dan langsung saja di tengah duka sepedih apa pun, aku tersenyum kembali. Mereka yang melakukan perenungan terhadap Githa akan selalu menemukan makna baru dan keceriaan baru setiap hari.” –Mahatma Gandhi (Tokoh Perjuangan Tanpa Kekerasan)
Tulsi Gabbard
“Ajaran Githatentang Berkarya tanpa Pamrih. adalah dasar serta penggerak bagi kemajuan dalam hidup saya. Seluruh dunia saat ini sangat membutuhkan para pemimpin-pelayan yang tidak hanya mengasihi Tuhan, tapi juga melayani sesama demi kebaikan seluruh dunia.” –Tulsi Gabbard (Anggota Kongres Amerika Serikat )
Karl Jung
“Bahwasanya manusia ibarat pohon yang terbalik (akarnya di atas dan ranting-rantingnya di bawah) merupakan pendapat umum di masa lalu. Terkait dengan konsep yang ada dalam Veda ini, Plato menjelaskannya dalam Timaeus di mana ia mengatakan “Lihat, kita bukanlah tanaman duniawi, tetapi tumbuhan surgawi.” Hal ini menjadi sangat jelas dengan apa yang dikatakan oleh Krishna dalam Bab Kelimabelas Bhagavad-Githa.” –Carl Jung (Bapak Psikologi Modern)
Jawaharlal Nehru
“Bhagavad-Githa memberi landasan spiritual bagi keberadaan umat manusia. Ia adalah panggilan (bagi seluruh umat manusia) untuk berkarya dan menunaikan kewajibannya di dunia dengan tetap memperhatikan tujuan spiritual semesta yang jauh lebih penting dan mulia.” –Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India)
Ralph Waldo Emerson
“Saya berhutang pada Bhagavad-Githa. Membaca buku awal peradaban manusia itu, saya seolah mendengar sebuah pesan dari kerajaan di masa lalu kerajaan yang besar tapi tenang dan damai. Pesan yang disampaikan di masa lalu itu masih mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan masa kini.” –Ralph Waldo Emerson (Bapak Bangsa Amerika Serikat)
Herman Hesse
“Kehebatan Bhagavad-Githa terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan kebijakan hidup dengan sangat indah, sehingga filsafat pun berbunga menjadi kepercayaan (yang hidup).” –Herman Hesse (Penulis/Filsuf )
Lihat Juga:
Vivekananda
“Cara untuk menggapai kesempurnaan hidup dengan bekerja tanpa pamrih itulah yang dijelaskan oleh Krishna dalam Bhagavad-Githa” –Vivekananda (Pujangga besar)
Rudolph Steiner
“Untuk memahami pesan Bhagavad-Githayang begitu mulia dan halus, jiwa kita harus berada pada gelombang yang sama dengannya.” –Rudolph Steiner (Filsuf)
Adolf Huxley
“Bhagavad-Githamenjelaskan evolusi batin manusia dengan sangat jelas dan sistematis, evolusi batin yang dapat mengangkat derajat manusia. Ia adalah intisari dari filsafat perenial yang paling jelas dan lengkap; karena itu, ia penting bagi seluruh umat manusia, bukan bagi India saja.” –Adolf Huxley (Filsuf)
Radjiman Wedyoningrat
“Kitab Bhagavad-Githa ini boleh dipandang sebagai riwayat kehidupan Korawa dan Pandawa, atau perjalanan manusia menuju ke arah Sempurna. Sebagai ilmu, kitab Bhagavad-Githa menguraikan perjalanan kalbu manusia menuju ke arah Kesempurnaan. Di situlah terjadi pertempuran antara Jiwa dengan Keangkaramurkaannya.” –Radjiman Wedyoningrat (Pendiri Boedi Oetomo)
Kitab suci Weda, dianggap mereproduksi suara yang tepat dari alam semesta pada saat penciptaan dan seterusnya, sehingga sebagian besar berbentuk himne dan nyanyian. Dalam melafalkan Veda, seseorang dianggap benar-benar berpartisipasi dalam nyanyian kreatif alam semesta yang melahirkan segala sesuatu yang dapat diamati dan tidak dapat diamati sejak awal waktu. Rig Veda menetapkan standar dan nada yang dikembangkan oleh Sama Veda dan Yajur Veda sementara karya terakhir, Atharva Veda, mengembangkan visinya sendiri yang diinformasikan oleh karya-karya sebelumnya tetapi mengambil jalan aslinya sendiri.
Jenis jenis kitab suci Veda
Kitab suci veda terbagi dalam dua golongan yaitu:
Shruti (“apa yang didengar”) – catatan wahyu tentang hakikat eksistensi sebagaimana para penulis Weda “mendengar” dan mencatatkannya dalam kitab tersebut.
Smrti (“apa yang diingat”) – cerita para pahlawan agung dari masa lalu dan bagaimana mereka berhasil – atau gagal – menjalankan tugas/kewajiban sesuai kehendak Takdir Abadi.
Kitab Shruti
Naskah yang menjabarkan Shruti terdapat dalam Empat bagian utama kitab suci Weda:
Rig Weda – kitab Weda tertua, berisi kumpulan himne atau syair
Sama Weda – catatan, rapalan dan kidung liturgi (peribadatan massal)
Yajur Weda – tatanan ritual, mantra, rapalan
Atharwa Weda – jampi/mantra (spells), rapalan, himne/syair, doa.
Rig Veda
Rig Veda adalah karya kitab suci weda tertua yang terdiri dari 10 buku (dikenal sebagai mandala) 1.028 himne 10.600 ayat. Ayat ini memusatkan perhatian pada ketaatan dan praktik religius yang benar, berdasarkan getaran universal seperti yang diimplementasikan oleh orang bijak yang pertama kali mendengarnya, tetapi juga membahas pertanyaan tentang keberadaan.
Komentar Koller: Pemikir Veda mengajukan pertanyaan tentang diri mereka sendiri, dunia di sekitar mereka, dan tempat mereka di dalamnya. Apa yang dipikirkan? Apa sumbernya? Mengapa angin bertiup? Siapa yang menempatkan matahari – pemberi kehangatan dan cahaya – di langit? Bagaimana mungkin bumi menghasilkan banyak sekali bentuk kehidupan ini? Bagaimana kita mengetahui keberadaan kita dan menjadi utuh? Pertanyaan tentang bagaimana, apa, dan mengapa merupakan awal dari refleksi filosofis.
Refleksi filosofis ini mencirikan esensi Hinduisme di mana inti dari keberadaan pribadi adalah mempertanyakannya ketika seseorang bergerak dari kebutuhan dasar hidup menuju aktualisasi diri dan persatuan dengan Yang Ilahi. Rig Veda mendorong pertanyaan semacam ini melalui himne kepada berbagai dewa – khususnya Agni , Mitra, Varuna, Indra , dan Soma – yang pada akhirnya akan dilihat sebagai avatar dari Yang Tertinggi Di Atas Jiwa, Penyebab Pertama, dan sumber keberadaan, Brahman. Menurut beberapa aliran pemikiran Hindu, Weda disusun oleh Brahman yang nyanyiannya didengar oleh para resi.
Sama Veda
Sama Veda (“Pengetahuan Melodi” atau “Pengetahuan Lagu”) adalah bagian kitab suci weda yang meruoakan karya lagu liturgi, nyanyian, dan teks yang dimaksudkan untuk dinyanyikan. Isinya hampir seluruhnya berasal dari Rig Veda dan, seperti yang diamati oleh beberapa sarjana, Rig Veda berfungsi sebagai lirik melodi Sama Veda. Ini terdiri dari 1.549 syair dan dibagi menjadi dua bagian: gana (melodi) dan arcika (syair). Melodinya dianggap mendorong tarian yang jika digabungkan dengan kata-kata akan mengangkat jiwa.
Yajur Veda
Yajur Veda (“Pengetahuan Ritual dan Pemujaan”) terdiri dari pelafalan, formula ritual penyembahan, mantra, dan nyanyian yang terlibat langsung dalam kebaktian. Seperti Sama Veda, isinya berasal dari Rig Veda tetapi fokus dari 1.875 ayatnya adalah pada liturgi perayaan keagamaan. Ini umumnya dianggap memiliki dua “bagian” yang bukan merupakan bagian yang berbeda tetapi karakteristik sama dari keseluruhan. “Yajur Veda gelap” mengacu pada bagian-bagian yang tidak jelas dan tertata dengan buruk sedangkan “Yajur Veda terang” berlaku untuk ayat-ayat yang lebih jelas dan tersusun lebih baik.
Atharva Veda
Atharva Veda (“pengetahuan tentang Atharvan”) berbeda secara signifikan dari tiga kitab suci Weda pertama, Atharva Veda terdapat mantra magis untuk menangkal roh jahat atau bahaya, nyanyian, himne, doa, ritual inisiasi, upacara pernikahan dan pemakaman, dan pengamatan pada kehidupan sehari-hari. Nama tersebut diduga berasal dari Rsi bijak bernama Atharvan yang disinyalir terkenal sebagai penyembuh dan inovator religius.
Diperkirakan bahwa karya tersebut disusun oleh seorang individu atau individu yang kira-kira pada waktu yang sama dengan Sama Veda dan Yajur Veda (sekitar 1200-1000 SM). Atharvaveda terdiri dari 20 buku dari 730 himne beberapa di antaranya diambil dari Rig Veda. Sifat dari karya tersebut, bahasa yang digunakan, dan bentuknya telah menyebabkan beberapa teolog dan sarjana menolaknya sebagai Weda yang otentik di masa sekarang.
Masing-masing kitab di atas selanjutnya dipisahkan dalam beberapa jenis:
Aranyaka – ritual, peribadatan
Brahmana – ulasan tentang ritual dan tata cara peribadatan yang menjelaskan ritual tersebut
Samhita – pemberkatan, doa, mantra
Upanishad – ulasan filosofis terkait makna kehidupan dan Weda.
Upanishad dianggap sebagai “akhir dari kitab suci weda” seperti pada kata terakhir dalam teks. Istilah Upanishad berarti “duduk dekat” seperti yang dilakukan siswa dengan guru untuk menerima beberapa informasi yang tidak dimaksudkan untuk seluruh kelas. Upanishad dalam masing-masing Veda mengomentari teks atau mengilustrasikannya melalui dialog dan narasi sehingga memperjelas bagian atau konsep yang sulit atau tidak jelas.
Kitab Smrti
Naskah yang termasuk Smrti adalah:
Purana – cerita rakyat dan legenda/mitologi tentang berbagai tokoh dari masa lalu
Ramayana – kisah kepahlawanan Sri Rama dan perjalanannya mencapai aktualisasi-diri
Mahabharata – kisah kepahlawanan lima Pandawa dan perang menghadapi Kurawa
Bhagawad Gita – kisah populer berisi wejangan tentang darma dari Krisna kepada Arjuna
Yoga Sutra – ulasan terkait berbagai disiplin yoga dan pembebasan-diri
Naskah Dewa-Dewi dalam kitab suci weda
Semua naskah tersebut juga menyinggung atau secara khusus membahas berbagai dewa lain seperti:
Indra, penguasa kekuatan alam, petir, badai, perang dan keberanian;
Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, nurani (kesadaran), tutur-bahasa (speech) dan komunikasi;
Parwati, dewi cinta, kesuburan, kekuatan, juga sebagai sakti dewa Siwa;
Soma, dewa laut, kesuburan, dan kesenangan.
Di antara yang paling utama dari dewa-dewa tersebut adalah tiga dewa yang menyatakan “Trinitas Hindu”:
Brahma – Sang Pencipta. Wisnu – Sang Penjaga Siwa – Sang Pemusnah
Semua dewa tersebut adalah manifestasi dari Brahman, Sang Pamuncak Realita, yang hanya bisa dimaknai melalui aspek Keilahian-Nya sendiri. Brahma, Wisnu dan Siwa adalah bagian dari aspek tersebut sekaligus menyatakan individu ilahiah tersendiri dengan karakterisasi, motivasi dan kehendak masing-masing. Mereka juga bisa dimaknai melalui awatara (bentuk titisan) masing-masing, mengingat [wujud ilahiah] mereka terlalu kompleks atau luar biasa untuk dipahami sendiri, karenanya mereka mengambil bentuk dewa-dewa lain. Contoh yang paling terkenal adalah Krisna sebagai Awatara (Titisan) Wisnu, dewa yang secara berkala datang ke dunia untuk menuntun pahaman sekaligus melakukan koreksi atas kesalahan umat manusia.
Dalam kisah Bhagawad Gita, Krisna sengaja berlakon sebagai sais kereta perang Arjuna karena menyadari sang Pangeran bakal berberat hati memerangi para sepupunya sendiri di padang laga Kurusetra. Krisna menghentikan jenak waktu untuk memberikan wejangan pada Arjuna tentang hakikat dharma dan ilusi atas kematian sebagai akhir kehidupan. Wejangan tersebut mengkhusukkan benak Arjuna yang sebelumnya terbebani keraguan atas kondisi kekinian (present circumstances), dan membantunya menuntaskan kewajiban sebagai ksatria.
Ritual Persembahyangan agama Hindu
Semua naskah tersebut di atas juga memberikan informasi tentang tata cara peribadatan religi bagi para penganut Sanatana Darma dan, secara garis besar, memiliki dua aspek:
Puja – sembahyang, ritual, yadnya (kurban atau sesembahan), dan doa yang bisa dilakukan di tempat keramat (shrine) untuk dewa tertentu atau di kuil.
Darsha– kontak visual secara langsung dengan patung dewa
Setiap orang bisa menyembah Ilahi-nya di rumahnya sendiri, di tempat keramat (shrine) bagi dewa tertentu dan atau di kuil besar. Di kuil, para pendeta biasanya membantu peziarah dan keluarganya dengan bertindak selaku perantara bagi mereka dengan para dewa melalui beragam petuah, rapalan, kidung dan doa. Karenanya, berbagai bentuk nyanyian, tarian dan gerakan tertentu sering mencirikan pelayanan religi sebagai bentuk ekspresi individu di hadapan Tuhan-nya. Elemen penting lain dalam ritual keagamaan semacam ini adalah kontak visual dengan mata ilahi yang direpresentasikan melalui patung atau sosok-bentukan (figurin).
Pada latar-makna tertentu, darsha menjadi elemen vital dalam persembahyangan (komuni) karena para dewa tersebut juga sedang mencari para pengikutnya dengan sama tulusnya seperti pengikutnya mencari mereka, sebelum akhirnya bertemu dan bertatap mata. Konsep ini menjelaskan alasan kuil-kuil Hindu banyak dihias dengan beragam figur atau patung dewa, baik di bagian luar maupun bagian dalam kuil. Patung tersebut diyakini sebagai jelmaan langsung dewa itu sendiri dan para pengikutnya bisa memperoleh keberkahan dan pelipuran melalui kontak mata seperti saat bersua dengan teman.
Festival agama Hindu
Hubungan antara pemeluk kepercayaan dan ilahinya seperti ini tampak jelas melalui berbagai festival yang dirayakan di sepanjang tahun. Salah satu dari yang paling populer adalah Diwali, atau Festival Cahaya, yang memperingati kemenangan energi-terang dan cahaya melawan kekuatan negatif dan kegelapan. Pada festival ini, seperti laiknya peribadatan sehari-hari, kehadiran figur atau patung ilahi penting dibutuhkan untuk membangun koneksi dan mengkhusukkan benak pemeluknya.
Diwali bisa jadi merupakan contoh terbaik dari disiplin Bhakti Yoga yang berkhusus pada kecintaan terhadap kebaktian dan pelayanan. Masyarakat bersama-sama membersihkan, merenovasi, menghias dan memperbaiki lingkungan tempat tinggal mereka sebagai penghargaan sekaligus ucapan syukur atas segala anugrah yang telah diberikan oleh Laksmi, dewi kesuburan dan kemakmuran. Namun, bisa sangat mungkin berbagai dewa lain akan menggantikan Laksmi dan dipuja saat Diwali, bergantung pada kebutuhan penganutnya dan anugrah apa yang telah mereka terima setahun belakangan ini.
Pada akhirnya, sosok dewa secara individu menjadi tidak penting mengingat semua dewa bersumber pada aspek Brahman seperti halnya si pemuja dan ritual pemujaannya. Detil peribadatan juga tidak penting ketika dibandingkan dengan esensi peribadatan itu sendiri yang mengakui tempat seseorang dalam maharaya-semesta dan meneguhkan komitmen penganutnya untuk menerima kemanunggalan ilahi dalam semua aspek kehidupan, serta hubungan antar-sesama penganut yang sedang berjalan pulang ke rumah yang sama.
Sejarah desa adat: Provinsi Bali merupakan salah satu wilayah negara kesatuan republik Indonesia, masyarakat Bali hingga saat ini masih mempertahankan warisan tradisi dan budaya luhur Nusantara. Salah satu warisan tradisi tersebut adalah “Desa Adat”. Berdasarkan Pergub Bali nomor 4 tahun 2020, Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Baliyang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa adat pada masa Bali Mula
Jauh sebelum pengaruh agama Hindu masuk ke Bali, masyarakat Bali pada saat itu telah memiliki sistem pemerintahan masyarakat hukum adat (Desa Adat). Masyarakat Bali kuno kala itu disebut sebagai masyarakat Bali Mula yang kemudian akan mendapat pengaruh dan pembauran dengan pengikut ajaran Rsi Markandya. Masyarakat Bali Mula selanjutnya dikenal sebagai masyarakat Bali Aga.
Masyarakat Bali Mula ketika itu umumnya dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mempertahankan tradisi yang dilandasi oleh budaya megalitik dan konsep rwabhineda, dimana agama yang dianut saat itu adalah kepercayaan Leluhur.
Sistem pemerintahan Desa Bali Mula
Orientasi atau pandangan mengenai pemerintahan desa atau tempat suci tampak sangat sederhana, misalnya orang dibedakan dalam kedudukan peran semata-mata atas dasar ulu-Ampad. Yaitu dilandasi atas kesenioran atau perkawinan.
Krama/warga desa yang lebih senior diberikan kekuasaan atas aspek tradisi, karena dipertimbangkan mengetahui lebih banyak dan dianggap lebih suci. Ini disebabkan, karena mereka sudah melaksanakan ritus upacara (life circle) di desanya. Selain itu, mereka juga menganut prinsip kebersamaan (togetherness).
Sejarah masyarakat desa adat Bali Aga
Sejarah mencatat, bahwa sejarah Bali Aga bermula ketika pengikut-pengikut Rsi Markandya yang berjumlah 400 orang pada abad ke 8 ikut datang ke Bali untuk menyebarkan agama Hindu. Mereka kemudian bergabung dengan Bali Mula atau Bali Asli yang terus berlanjut melaksanakan ajaran Rsi Markandya sampai akhirnya pengaruh Majapahit tiba di Bali.
Pembauran masyarakat Bali mula dan pengikut Rsi Markandya tersebut kemudian disebut sebagai masyarakat Bali Aga. Masyarakat Bali aga sampai saat ini masih memegang teguh tradisi-tradisi baik yang diadopsi dan diadaptasi maupun yang sudah dimodifikasi ataupun yang masih asli.
Sejarah Desa Adat Zaman Bali Madya
Pengaruh Tradisi Majapahit/Desa Apanage
Dapat dikatakan bahwa Majapahit pada akhirnya dapat menaklukkan Bali (Shastri, 1963: 90—91; Pageh, 2018: 13). Beberapa pengaruh yang terdapat pada masyarakat Bali tampak mulai intens dilakukan. Di antara pengaruh yang ada di antaranya adalah tata cara pelaksanaan keagamaan, struktur dan sistem kemasyarakatan, serta kepemimpinan Bali Aga.
Akibatnya adalah aspek-aspek keagamaan Hindu Majapahit dapat berkembang sebagaimana dilaksanakan oleh Mpu Dwijendra yang dikenal juga dengan Danghyang Nirartha dan juga dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Sistem pemerintahan Desa pada masa Bali Madya
Sementara itu, desa-desa yang kemudian mendapat pengaruh Majapahit dikenal dengan desa-desa Bali Dataran. Adapun desa-desa Bali Dataran ini memiliki karakter ekonomi sawah dengan sistem irigasi, kekuasaan terpusat dimana kedudukan raja sebagai keturunan dewa (devaraja cults), adanya dominasi tokoh pedanda, konsep keagamaan tertulis dalam lontar, adanya sistem warna menjadi dikastakan, upacara pembakaran mayat bagi orang yang sudah meninggal, adanya sistem kalender Hindu Jawa, pertunjukan wayang kulit, arsitektur, dan kesenian bermotif Hindu dan Budha, juga dikenalnya tarian topeng.
Kepemimpinan pada desa-desa Bali Dataran ini merupakan kepemimpinan tunggal sebagai presentasi raja. Karakteristik yang lain seperti pada perbedaan pada religi, pola kemasyarakatan, kesenian, dan kesusastraan, dan penataan palemahan. Kehidupan sosial masyarakat Bali Dataran mengikuti stratifikasi sosial yang didominasi oleh unsur-unsur tradisi Hindu Jawa.
Beberapa karakter yang perlu dipahami adalah adanya kekuasaan pusat berada di tangan raja yang dianggap sebagai keturunan dewa, tokoh pedanda, dan sistem kasta yang dikenal dengan Triwangsa.
Sistem kekuasaan ini tampak semakin kuat diterapkannya ketika Bali berada di bawah kekuasaan Arya keturunan Majapahit, yaitu ketika pemerintahan berada di tangan Dalem Waturenggong yang bernama Sri Kresna Kepakisan (1460M—1552M). Selanjutnya puncak kekuasaan mereka berada di tangan Raja Ketut Ngelesir (Pageh, 2018: 14).
Parimartha dan Swellengrebel mencatat bahwa tradisi kecil yang bermula pada masa Bali Aga, tampak terus memiliki karakter sistem ekonomi terfokus pada ekonomi sawah dengan irigasi hingga masa-masa selanjutnya. Azas musyawarah dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial sederhana (rwabhineda), bangunan rumah dengan kamar yang berbentuk kecil dan terbuat dari bahan kayu dan bambu, kerajinan besi, perunggu, celup dan tenun, sistem pura berhubungan dengan keluarga, desa dan wilayah (nyegara gunung).
Di pura-pura terdapat sistem ritual dan upacara yang mendasarkan pada tari wali, dan bahasa setempat dengan kesusastraan lisan, serta tari dan tabuh yang dipergunakan dalam rangka upacara keagamaan yang terdiri atas slonding, angklung, dan tari Sanghyang (Parimartha, 2009, lihat juga: Swellengrebel 1960:29).
Adopsi Konsep Tri Hita Karana
Perlu dipahami, bahwa desa adat di Bali, tidak dapat dilepaskan dari konsep Tri Hita Karana yang berkaitan dengan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, Tri Hita Karana telah menjadi ideologi desa adat di Bali, terutama setelah ideologi Tri Murti diperkenalkan oleh Mpu Kuturan di Bali. Ini dapat dilihat bagaimana misalnya hingga saat ini mulai dari penataan desa adat, sampai ke rumhah tangga wajib memiliki Sanggah Rong Tiga (Rong Telu). Rong Tiga yaitu tempat pemujaan leluhur yang terdiri dari tiga ruang, yang mencerminkan perpaduan konsep Bali asli dan pengaruh Hindu, seperti adanya pemujaan leluhur atau nenek moyang antara purusa (laki-laki) dan pradana (wanita), yang kemudian di tengah-tengah diwujudkan dalam bentuk pemujaan kepada Dewa Siwa sebagi pengaruh penyebaran agama Hindu dari India ke Bali.
Konsep Tri Hita Karana secara historis muncul setelah konsep ajaran Mpu Kuturan dimasyarakatkan di Bali. Dari deskripsi ini dapat dikatakan bahwa sejarah desa adat dari sejak awal terbentuknya merupakan sebuah desa otonom yang pada umumnya dianggap sebagai sebuah desa yang memiliki persyaratan pemerintahan sebagai sebuah republik desa (Dorp Republik).
Hal Ini dapat dimengerti karena sebuah desa adat di Bali sudah memiliki sebuah wilayah, pemerintahan, hukum adat, yang mampu menata dan mengelola kehidupan sendiri secara berkelanjutan yang diikuti dengan sistem sangsi adat yang disesuaikan dengan dresta atau tradisi lisan, dan awig-awig yang secara fleksibel mengikuti perkembangan zaman.
Adaptasi pengaruh Majapahit
Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengaruh Majapahit ke Bali setelah abad ke-14. Dapat dikatakan, bahwa telah terjadi adopsi dan adaptasi adanya dua kekuatan dengan memposisikan Shiwa Shiddanta sebagai pusat utamanya.
Kekuatan kekuasaan lokal yang dihadirkan oleh keberadaan kerajaan-kerajaan memposisikan konsep nyatur dengan menempatkan kerajaan, pasar, alun-alun, dan hunian pendukungnya di sekitar perapatan agung kerajaan, yang dikenal dengan konsep Catur Muka.
Dewa Nyatur dengan di tengah-tengah adalah Shiwa sebagai aliran utamanya, bahkan kemudian membagi Siwa menjadi tiga atau dewa trinitas, yaitu Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Konsep ini mewarnai dan menjadi budaya berpikir, berkata dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan kemampuan menguasai Sastra Suci Weda dan ajaran Hindu yang dipraktikkan sesuai dengan perkembangan konsep desa adat yang ada di Bali. Sumber: Sejarah Desa Adat dan Kekhususasnya (I Ketut Ardhana)
Sejarah Desa adat masa Bali Anyar (Bali modern)
Masa penjajahan Belanda
Cikal bakal dan sejarah penyebutan Desa Adat
Penyebutan Desa Adat mulai diperkenalkan oleh pemerintah Balanda. Liefrinck dalam bukunya “Bali en Lombok” menyatakan bahwa Desa Adat sesungguhnya adalah “republik kecil” yang memiliki, hukum, aturan adat atau tradisi sendiri, susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, mempunyai wilayah tersendiri dan dana untuk mengatur rumah tangganya sendiri (Liefrinck, 1927: 36).
Masyarakat hukum Adat di Bali, diatur berdasarkan stb. 1938 No. 490 istilah masyarakat hukum Adat (Desa tradisional) di Bali kemudian disebut dengan Desa Adat. Istilah Desa adat dan pengaturan kedalam (anggota/krama) diatur berdasarkan hukum Adat yang telah tumbuh dan berakar di masyarakat.
Pada zaman kolonial Belanda tugas pokok dan fungsi Desa Adat sebagai organisasi yang membina, mengembangkan dan melestarikan, adat, budaya dan Agama, serta melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan desanya masing-masing. Kemudian Tugas sebagai pelayan raja di bidang pemerintahan diberikan tugas kepada Dienst (berdinas/ bertugas) yaitu seorang pejabat di desa yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan pemerintah kolonial dan pelayanan publik. Dienst mempunyai tugas mewakili pemerintahan Hindia Belanda dalam melaksanakan pemerintahan kedinasan di desa.
Masa kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan lembaga kedinasan (diens) tersebut tetap dipergunakan dalam pemerintahan desa, Yang kemudian menjadi Desa Dinas. Pada saat penjajahan Belanda, muncul istilah Desa Adat sebagai organisasi tradisional yang landasan oprasionalnya diatur berdasarkan hukum adat, sedangkan Desa Dinas landasan oprasionalnya diatur berdasarkan peraturan pemerintah (hukum tertulis).
Eksistensi Desa Adat setelah zaman kemerdekaan
Sejarah mencatat Desa Adat di Bali hingga saat ini masih tetap diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai lembaga kesatuan masyarakat adat yang dilindungi undang-undang. Upaya penyeragaman dan penggabungan antara Desa Adat dengan Desa Dinas tidak membuahkan hasil yang kongkrit. Karena dua jenis desa tersebut, memang berbeda dari tugas pokok, fungsi, dan sistem pemerintahannya.
Pemerintah menjamin keberadaan Desa Adat dan Desa Dinas, hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang mengaturnya, terutama dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa;
Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 18 B ( 2 ) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Pengakuan keberadaan terhadap Desa adat diatur dalam UUD 1945 pasal 18, kemudian diatur kembali dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa;
Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, Propinsi, Kabupaten (kota besar), dan Desa (Kota kecil) yang disebut Nagari, Marga dan sejenisnya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 di antaranya Desa, Marga, Nagari dan sebagainya, berjalan terus sampai adanya pembentukan pemerintahan untuk menggabungkan Desa yang satu dengan Desa yang lainnya. Sumber: Mudra; Jurnal seni budaya volume: 25, ISI Denpasar.
Pergub Bali tentang Desa Adat
Sebagai upaya pelestarian dan eksistensi Desa Adat di Bali (masyarakat hukum adat Bali), pemerintah provinsi Bali telah mengundangkan Pergub Bali nomor 4 tahun 2020, tentang Desa Adat.
Pasal 1 (11): Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pasal 1 (12): Pemerintahan Desa Adat adalah penyelenggaraan tata kehidupan bermasyarakat di Desa Adat yang berkaitan dengan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber: Pergub Bali nomor 4 tahun 2020 tentang Desa Adat di Bali.
Demikianlah sejarah singkat desa adat di Bali yang di susun dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
Sejarah Agama Hindu – Hindu atau Hinduisme pertama berkembang dari wilayah Asia Tengah dan Lembah Hindus (Indus) dan merupakan agama tertua di dunia yang masih dipraktikkan hingga saat ini. Istilah ‘Hinduisme’ sendiri adalah sebuah eksonim (kasus julukan, yakni sebutan atau nama yang diberikan pihak luar pada suatu orang, masyarakat, tempat dan atau konsep tertentu) dan berasal dari istilah Persia, Sindus, untuk menyebut mereka yang tinggal di sepanjang sungai Hindus.
Umat Hindu juga menamai atau mengenal agama mereka sebagai Sanatana Darma (‘Darma Kekal atau Takdir Abadi’). Dan, seperti digariskan dalam kitab pegangan mereka yang dikenal sebagai Weda (Vedas), umat Hindu juga memahami konsep ajaran tersebut manifestasi hakiki dari Brahman (Tuhan), atau Sang Maha-Jiwa (Over Soul) paling mutlak yang dari-Nya segala penciptaan berawal dan sudah dari semestinya berasal. Brahman juga menyatakan Prima Kausa (Sebab Pertama) yaitu sesuatu yang dengan sendirinya serta sudah sepatutnya bergerak (in motion) dan menyebabkan segala sesuatu bergerak, termasuk juga menyatakan penciptaan pertama itu sendiri yang menuntun arah segala penciptaan berikutnya.
Konsep ketuhanan dalam Hindu
Berdasar konsep tersebut, bisa dimaklumi jika banyak orang memahami agama Hindu dengan beragam konsep seperti monoteistik (ada konsep tuhan/dewa tunggal), politeistik (dewa tunggal/utama memiliki banyak dewa pendamping, atau biasa disebut ‘Awatara’ yaitu dewa dengan tugas/cakupan yang lebih spesifik atau lebih kecil dari dewa utama), henoteistik (mengingat pemeluknya bisa bebas memilih dan mengangkat salah satu dewa avatar ke jenjang keilahian yang lebih tinggi), panteistik (mengingat para dewa Awatara tersebut bisa menjadi representasi atau manifestasi dari aspek atau elemen alam), atau bahkan atheistik, mengingat pemeluknya bisa mengganti konsep Brahman dengan dirinya sendiri sebagai upaya pencapaian atau pencarian jati diri yang lebih sempurna.
Sistem kepercayaan ini pertama digariskan secara tertulis dalam manuskrip atau kitab Weda (Vedas) pada masa yang dikenal dengan nama Periode Weda (Vedic Period, berlangsung sekitar 1500 – 500 SM), namun sebenarnya konsep kepercayaan tersebut sudah diturunkan secara lisan jauh sebelum Periode Weda dimulai.
Pendiri Agama Hindu
Hinduisme diketahui tidak memiliki pendiri atau awal waktu yang pasti, juga – berdasarkan ajarannya – tidak diketahui perkembangan pastinya sebagai sebuah sistem kepercayaan; para penulis Weda diketahui hanya mencatatkan (ajaran) yang sudah ada atau muncul sebelumnya. Pengetahuan abadi ini dikenal sebagai shruti (“apa yang didengar”) serta dimaktub dalam Weda beserta bagian-bagiannya yang dinamai Samhita, Aranyaka, Brahmana, dan yang paling terkenal, Upanishad, masing-masing dengan bahasan aspek keimanan yang berbeda.
tujuan hidup adalah mengenali eksistensi kemanunggalan paling mendasar yaitu aspek (jati-)diri yang lebih tinggi dalam tiap individu, melalui ketaatan pada kewajiban hidup individu tersebut.
Berbagai manuskrip di atas dilengkapi dengan naskah jenis lain atau smrti (“apa yang diingat”) yang membeberkan beragam kisah tentang bagaimana seseorang seyogyanya mempraktikkan keimanan. Termasuk dalam naskah jenis ini adalah kitab Purana, epik Mahabharata dan Ramayana, Yoga Sutra, dan Bhagawad Gita. Akan tetapi, tidak satupun dari beragam kitab atau manuskrip di atas bisa dianggap atau dimaknai sebagai “Kitab Suci” agama Hindu mengingat tidak ditemukan klaim bahwa manuskrip tersebut merupakan “Firman Tuhan”; melainkan lebih menyatakan catatan wahyu atas hakikat eksistensi yang mengidealkan semesta bersifat rasional, terstruktur, dan dituntun oleh ) yang esensi-Nya juga mencakup seluruh umat manusia.
Tujuan hidup adalah mengenali eksistensi kemanunggalan paling mendasar yaitu aspek (jati-)diri yang lebih tinggi dalam tiap individu (dikenal sebagai Atma) yang merupakan bagian dari diri sendiri dan Sang Maha-Jiwa. Penyatuan ini dicapai melalui ketaatan pada kewajiban hidup (dharma) individu tersebut dengan melaksanakan tindakan yang sesuai (karma) untuk melepas berbagai ikatan eksistensi yang bersifat duniawi dan lolos dari siklus lahir-mati (samsara). Manakala seseorang telah menuntaskan penyatuan tersebut, jiwa atau Atma-nya akan bergabung bersama Brahman dan karenanya, berpulang kepada kemanunggalan primordial (abadi).
Salah satu hal yang bisa menghalangi seseorang menyadari kemanunggalan tersebut adalah ilusi dualitas (kegandaan) yaitu kepercayaan bahwa seseorang terpisah dari (orang) lain dan Pencipta-nya tersebab dorongan atau dasar pengalaman (hidup) seseorang di dunia fana. Namun, kesalahan konsepsi ini (dikenal sebagai maya) bisa diatasi dengan belajar mengenali esensi kesatuan dari semua eksistensi (seberapa mirip individu dengan sesamanya dan, pada akhirnya, Pencipta-nya) serta terus berupaya mencapai kondisi pencerahan atas aktualisasi-diri.
Perkembangan Awal
Suatu bentuk sistem kepercayaan yang bakal menjadi, atau setidaknya mempengaruhi, Hinduisme kemungkinan besar muncul di wilayah Lembah Hindus (Indus) sejak sebelum milenium ketiga SM, yakni ketika sebuah koalisi suku-suku nomadik yang menyebut diri mereka sebagai suku Arya mulai masuk ke wilayah Asia Tengah. Sebagian dari kelompok suku ini memilih menetap di wilayah yang disebut Iran pada masa modern (karenanya saat ini mereka dinamakan Indo-Iranian dan beberapa dari mereka nantinya dikenal di dunia Barat sebagai bangsa Persia). Sementara sebagian lain dari koalisi suku Arya lebih memilih bertempat tinggal di wilayah Lembah Hindus (karenanya disebut sebagai Indo-Aryan pada masa kini).
Tersebab inilah nama atau istilah ‘Arya’, yang juga bisa diartikan “orang merdeka (free man)” atau “luhur (noble)”, sebenarnya lebih mengacu pada kelompok atau kelas masyarakat dan tidak sama sekali menyatakan sebuah konsep ras. Karena itu mitos atau cerita lama tentang “Invasi suku Arya” yang percaya bahwa ras Kaukasia “membawa peradaban” pada wilayah ini sebenarnya lebih menyatakan hasil pemikiran cupat dan prasangka para ilmuwan Barat abad ke18 dan ke-19, serta telah sejak lama ditolak atau dianulir.
Fakta dari sisa reruntuhan kota seperti Mohenjo-daro dan Harappa (sekedar menyebut dua nama yang paling terkenal) menunjukkan bahwa sebuah peradaban yang sangat maju telah berkembang pesat di wilayah Lembah Sungai Hindus pada sekitar 3000 SM, yang lahir dari pemukiman Periode Neolitik pada tahun-tera sebelum 7000 SM. Saat ini, periode tersebut dinamai sebagai era Peradaban Lembah Hindus atau Peradapan Harappa (sekitar 7000 hingga 600 SM) yang nantinya akan dipengaruhi dan bercampur dengan budaya dari suku Indo-Aryan.
Pada sekitar 2000 SM, kota agung Mohenjo-daro telah memiliki jalanan dari batu bata, irigasi, dan sistem industri, dagang dan politik yang sudah sangat maju. Hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat kota ini juga mengembangkan sistem religi yang melibatkan ritual pemandian dan peribadatan lainnya, namun tidak ditemukan bukti tertulis yang bisa menguatkan pendapat ini. Yang lebih diyakini (para ilmuwan) adalah apapun bentuk yang diambil sistem keagamaan tersebut, banyak elemennya yang signifikan berasal dari sumber luar seperti halnya dasar pemikiran Weda (termasuk banyaknya nama dan karakterisasi para dewa) sangat dekat terhubung dengan Agama Iran Masa Awal dari bangsa Persia.
Periode Weda
Agama pada masa awal Lembah Hindus berkembang melalui pengaruh berbagai kedatangan baru selama Periode Weda. Pada masa ini, sistem kepercayaan yang dikenal dengan nama Wedaisme (Vedism) dikembangkan oleh golongan yang juga disebut masyarakat Weda (Vedic people). Mereka menulis dalam bahasa Sansekerta, yakni bahasa yang sepenuhnya digunakan menyusun kitab Weda.
Cendekia John M. Koller mencatatkan:
Bahasa Sansekerta, darinya kitab Weda menyatakan bukti ekspresi tertua yang masih bertahan, menjadi (bahasa) dominan. Sekalipun tradisi Sansekerta merefleksikan berbagai bentuk adopsi dan akomodasi dari banyak sumber non-Weda, (tradisi) ini lebih menutupi dibanding menampakkan berbagai kontribusi tersebut. Karenanya, alih-alih berpaling kepada kebesaran peradaban Hindus kuno, justru pada (kitab) Weda kita seharusnya berpaling jika ingin lebih memahami pemikiran bangsa India pada masa paling awal. (16)
Kitab Weda berupaya memaknai hakikat dari eksistensi dan tempat individu pada tataran kosmis. Sebagai upaya menjawab pertanyaan tersebut, para alim (sages) tersebut mengembangkan sistem teologi canggih yang nantinya menjadi Hinduisme.
Konsep Brahman
Wedaisme beralih menjadi Brahmanisme, yakni sebuah sistem religi yang berfokus pada Kebenaran dasar, Prima Kausa, segala bentuk fenomena atau aspek eksistensi, baik kasat maupun limun. Para alim yang mengembangkan Brahmanisme memulai (ajaran) dengan dunia kasatmata yang beroperasi berdasar aturan tertentu. Mereka menyebut aturan ini sebagai rita (“tatanan”) dan menyimpulkan bahwa sebelum rita atau tatanan muncul, harus ada sesuatu yang muncul dan ada terlebih dahulu untuk membuatnya; singkatnya, tidak akan mungkin ada ciptaan tanpa penciptanya.
Pada masa tersebut, ada banyak dewa dalam pantheisme Weda yang bisa atau pantas menjadi kandidat Prima Kausa, namun telaah para alim ini justru melampaui ancang-keilahian yang antropomorfik dan berhasil menemukan, seperti dijabarkan Koller, bahwa “ada sebuah keutuhan, suatu realita tak-berbelah, yang bahkan lebih mendasar dari sekedar entitas fana atau baka” (19). Entitas ini kemudian digagaskan sebagai sebuah individu namun dengan sosok yang sangat hebat dan berkuasa melebihi pemahaman manusia. Sosok yang kemudian mereka sebut sebagai Brahman ini tidak hanya berada dalam realita alam fana (seperti makhluk lainnya) atau realita alam baka (seperti makhluk gaib atau bahkan pra-eksistensi), namun sebenarnya juga wujud dari realita itu sendiri. Brahman tidak hanya menyebabkan kenyataan menjadi seperti adanya saat ini; dia juga wujud dari kenyataan saat ini, sejak dulu dan terkemudian. Karenanya, Sanatana Darma – Takdir Abadi – dimaktub sebagai nama dari sistem kepercayaan ini.
Masalahnya, jika benar demikian adanya, individu fana dan non-mutlak yang hanya memiliki masa hidup singkat di dunia ini bakal susah memiliki harapan untuk terhubung dengan entitas pamungkas dari sumber kehidupan tersebut. Karena Brahman berada di luar jangkauan, tidak ada bentuk relasi atau hubungan yang mungkin terjadi. Menjawab masalah ini, para alim Weda mengalihkan perhatian mereka dari Prima Kausa kepada individu dan mendefinisikan aspek diri menjadi badan fisik, jiwa, dan benak. Namun, tidak satupun dari aspek ini yang cukup mampu membuat hubungan dengan Sang Pamuncak hingga individu tersebut mampu memahami bahwa ada diri yang lebih tinggi (jati-diri) yang menuntun fungsi semua aspek individu tersebut. Koller memberikan tanggapan:
(Jati-)Diri ini dikatakan sebagai “bukan yang diketahui dan bukan yang tidak diketahui” [ Upanishad I.4]. Pertanyaan yang diajukan para alim adalah: Apa yang membisakan kita melihat, mendengar, dan bernalar? Tapi pertanyaan ini bukan tentang proses fisiologis pun mental, melainkan tentang ‘subjek-pamungkas’ yang memahami. Siapa yang menuntun mata melihat warna dan benak menggagas pemikiran? Para alim kemudian mengasumsikan bahwa harus ada semacam penuntun internal, atau agen dari dalam, yang bertindak mengarahkan berbagai fungsi pengetahuan. (24)
“Penuntun internal” ini disebut sebagai Atma – jati-diri yang lebih tinggi dari tiap individu – sekaligus terhubung dengan Brahman karena Atma juga Brahman. Semua individu sudah membawa Kebenaran Hakiki dan Prima Kausa dalam dirinya masing-masing. Karenanya, tidak ada alasan untuk mencari entitas tersebut di luar individu itu sendiri mengingat setiap diri sudah memilikinya dari dalam; seseorang hanya perlu untuk menyadari kebenaran ini sebelum bisa menjalaninya.
Inilah yang diekspresikan Chandogya Upanishad VI.8.7 dalam ungkapan Tat Tvam Asi – “Itu adalah engkau, engkau adalah Dia” – seseorang sudah menjadi apa yang dicarinya; dia hanya perlu menyadari hal tersebut. – (Tat Twam Asi mengandung arti bahwa ‘itu adalah engkau, engkau adalah dia’. Kata ‘itu’ bermakna sebagai Brahman atau Sumber segala kehidupan. Sedangkan kata ‘engkau’ adalah merupakan Atman atau jiwa yang menghidupi semua makhluk. “Tat Tvam Asi” dapat maknai bahwa jiwa yang bersemayam dalam setiap manusia adalah berasal dari sumber yang sama yaitu Brahman atau Tuhan sendiri) – sumber: kemendag DIY
Pencapaian kesadaran ini juga dimotivasi melalui berbagai ritual yang tidak hanya memuja Brahman, namun juga menghidupkan kembali segala bentuk penciptaan. Kaum pendeta (Brahmana), ketika mengkhusukkan diri pada Sang Maha-Pamungkas melalui berbagai rapalan, mantra dan kidung dari Weda, juga mengkhusukkan umat dengan cara menegaskan fakta bahwa mereka sebenarnya sudah sampai di tempat yang ingin mereka tuju, mereka bukan sekedar hadir di antara para Ilahi namun juga menjadi bagian tak terpisah dari keilahian tersebut, dan yang perlu mereka lakukan hanyalah menyadari kenyataan ini dan memuliakannya dengan berprilaku sesuai kewajiban yang telah digariskan secara ilahiah dalam kehidupan yang bertujuan menegakkan kewajiban tersebut, terlepas dari apapun bentuk yang dianut pemeluknya, tujuan utama hinduisme adalah pengenalan-diri; dalam mengenali diri, seseorang akan mengenali tuhannya.
Hinduisme Klasik
Brahmanisme kemudian berkembang menjadi sistem yang sekarang dikenal dengan Hinduisme dan, meskipun dianggap kebanyakan orang sebagai agama, juga dianggap oleh sebagian sebagai jalan hidup dan filsafat. Terlepas dari apapun bentuk yang dianut pemeluknya, tujuan utama Hinduisme adalah pengenalan-diri; dalam mengenali diri, seseorang akan mengenali Tuhannya. Kejahatan datang dari kelalaian mengetahui apa itu kebaikan; karenanya, pengetahuan tentang kebaikan bisa menolak kejahatan.
Tujuan hidup seseorang untuk mengenali nilai kebaikan tersebut serta berupaya mencapainya sesuai kewajiban tertentu (darma) masing-masing, dan segala tindakan yang terlibat sebagai kepatuhan dari upaya pencapaian tersebut menjadi karma orang itu sendiri. Karena itu, semakin patuh seseorang menjalankan karma-nya sesuai dengan darma-nya, semakin dekat jarak mencapai aktualisasi-diri dan, dengan sendirinya, makin dekat menyadari (unsur) Keilahian dalam dirinya.
Konsep Moksha
Dunia fana hanyalah ilusi senyampang kefanaan tersebut menambah keyakinan seseorang akan dualitas dan kejarakan. Orang boleh saja memutar punggung dan berbalik haluan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa-religi, namun Hinduisme juga sebenarnya mendorong partisipasi penuh dalam kehidupan melalui purusharthas – target hidup – yang terdiri atas:
Artha – karir, tempat tinggal, kekayaan material seseorang.
Kama – cinta, seksualitas, sensualitas, kenikmatan.
Moksha – pembebasan, pencerahan, aktualisasi-diri
Jiwa merasakan kenikmatan dalam melakukan pengejaran duniawi, sekalipun sebenarnya menyadari semua kesenangan tersebut hanyalah semu atau sementara. Jiwa adalah kekal – selalu telah menjadi bagian dari Brahman dan akan abadi – karenanya kematian sebagai akhir hanyalah ilusi.
Pada peristiwa kematian, jiwa meninggalkan badan (wadah) dan akan mengalami reinkarnasi jika gagal mencapai Moksha, atau jika berhasil, sang Atma akan menjadi satu dengan Brahman dan kembali ke rumah yang kekal. Siklus kelahiran dan kematian ini, atau dinamai samsara, akan tetap berlanjut hingga sang jiwa merasa ‘kenyang’ atas pengalaman dan kenikmatan duniawi sebelum beralih memusatkan perhatian pada kehidupan yang berpijak pada kedekatan dan pencapaian hal-hal yang bersifat hakiki ketimbang semu.
Terdapat tiga kualitas atau karakteristik bawaan, yang disebut guna, pada semua jiwa yang bisa membantu atau bahkan menghalangi mencapai tujuan tersebut:
Sattva – kearifan, kebaikan, kedekatan pada pencerahan.
Rajas – intensitas yang bergairah, aktivitas konstan, agresi.
Tamas – secara harfiah “tertiup angin”, kegelapan, kebingungan, keputusasaan
Guna tidak menyatakan tahapan yang harus ‘ditempuh satu-persatu’ mulai paling bawah hingga atas; melainkan ketiga kualitas tersebut telah ada pada semua jiwa dalam derajat yang lebih besar atau lebih kecil. Orang yang biasanya berperangai tenang dan hidup dengan baik masih sangat mungkin terseret gairah atau berpupus asa berkepanjangan. Oleh sebab itu, mengenali fungsi keberadaan guna yang sebenarnya, dan terus berupaya untuk mengendalikan aspek-aspek gunas yang kurang diinginkan, bakal membantu seseorang melihat lebih jelas dharma-nya sendiri dan bagaimana cara yang tepat untuk memenuhinya.
Dharma tiap manusia hanya bisa dipenuhi atau dituntaskan sendiri; tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa seseorang memenuhi kewajiban atau darma orang lain. Semua individu terlahir di dunia dengan peran khusus yang wajib dituntaskannya, jika individu tersebut memilih untuk tidak melaksanakan perannya dalam kehidupan sekarang, dia akan kembali dalam (kehidupan) lain, dan lainnya, dan seterusnya hingga perannya dituntaskan.
Konsep sistem Varna
Proses tersebut sering terhubung dengan sistem Varna dalam Hinduisme yang menempatkan seseorang terlahir pada satu tingkat tertentu dan tidak bisa diubah dengan cara apapun. Sepanjang hidupnya, orang tersebut diwajibkan memenuhi fungsi khusus sesuai Varna-nya dan akan bereinkarnasi jika gagal menuntaskan kewajiban dengan baik. Namun, tidak seperti kebanyakan anggapan, konsep ini tidak diterap-paksakan oleh pemerintah kolonial Inggris pada abad ke-19 Masehi pada masyarakat India, sebaliknya telah pertama kali dimaktub dalam Bhagawad Gita (disusun sekitar abad ke-5 hingga ke-2 SM) pada saat Krisna menjelaskan gunas dan tanggung jawab terkait dharma kepada Arjuna.
Krisna menyebutkan bahwa tiap individu wajib menuntaskan hal yang sudah seharusnya dituntaskannya dan menghubungkan kewajiban ini dengan sistem varna, untuk menjelaskan bagaimana manusia sepatutnya hidup sesuai tuntunan Takdir Ilahi. Siapapun bisa menjadi pendeta, ksatria, atau pedagang jika ini memang dharma mereka; sistem ini sudah menjadi bawaan dalam diri seseorang seperti laiknya kualitas guna. Wejangan Krisna nantinya akan direvisi dan dimaktub dalam manuskrip yang dikenal sebagai Manusmriti (“Hukum Manu”).
Naskah ini disusun mulai abad ke-2 SM hingga abad ke-3 Masehi dan menyatakan bahwa sistem Varna yang ketat telah digariskan sebagai bagian dari Kehendak Ilahi dan mentakdirkan tiap manusia – di sepanjang kehidupannya – berada dalam status sosial tempatnya dilahirkan. Hukum Manu adalah naskah pertama yang menyatakan konsep tersebut sebagaimana dimaknai hingga saat ini.
Disclaimer dan sumber artikel
Keseluruhan isi artikel pada halaman ini merupakan repost/posting ulang dari artikel yang sebelumnya telah di publikasikan pada situs web Ancient History – Ensiklopedia sejarah kuno. Beberapa isi telah kami edit tanpa mengubah makna dan isi keseluruhan artikel, dengan tujuan mempermudah pengunjung memahami isi artikel. Ancient History – Ensiklopedia Sejarah Kuno adalah organisasi nirlaba yang menerbitkan ensiklopedia sejarah paling banyak dibaca di dunia. Selengkapnya tentang Ancient History lihat halaman berikut: www.ancient.eu/static/about/
Bahasa Sanskerta merupakan leluhur bahasa Yunani, Romawi, Jerman, Slavia, Polandia, Latin, Inggris dan lain-lain yang termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa (Booij, 2007: 99—129).
Sanskerta pertama kali digunakan oleh bangsa Arya dan tumbuh di sekitar sungai Danao kira-kira di Utara pegunungan Kaukasus. Entah apa yang menyebabkan penutur bahasa ini meninggalkan tempatnya menuju semenanjung Balkan. Selanjutnya mereka menyebar ke Barat dan ke Timur. Yang ke Barat menurunkan bahasa Yunani, Romawi, Jerman, Slavia, dan lain sebagainya; sedangkan yang ke Timur dalam perjalanannya sampai di India (Soetandi, 2001: 1).
Perkembangan Sanskerta
Di India Sanskerta tumbuh dengan pesat. Pada abad IV di India lahir seorang ahli bahasa dunia yang terkenal, yaitu Panini. Beliau pertama kali berhasil menyusun hukum-hukum tentang Sanskerta yang dapat membedakan antara akar kata dan kata, bagaimana cara membentuk pangkal kata dan sebagainya. Yang jelas, Panini boleh dikatakan sebagai ahli tata Bahasa Sanskerta (Soetandi, 2001: 4).
Buku karagan Panini disebut Astadhyayi – delapan bab‘ ditulis dalam sebuah kode atau meta-bahasa yang boleh disamakan dengan sistem matematika yang diciptakan oleh para ilmuwan Yunani pada abad yang hampir sama. Sanskerta memiliki susunan yang lebih rapi dan terang, serta lebih mudah dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pada abad XIX Sanskerta selalu dipelajari oleh ahli bahasa Eropa untuk pemahaman yang lebih jelas dan mendalam tentang bahasa Latin dan Yunani.
Karya Panini tersebut masih dipakai sebagai dasar untuk memahami dan menganalisis tata bahasa Sanskerta. Sistem analisa tersebut terlalu rumit untuk diterapkan dalam perkuliahan ini, akan tetapi semua aturan tata bahasa Sanskerta yang dipelajari sekarang tatap berpegang pada karya Panini dan komentar-komentar dari Patanjali dan Katyayana yang hidup beberapa abad setelah jaman Panini.
Dalam perkembangannya, bahasa Sanskerta dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
Vedic Sanskrit adalah bahasa yang digunakan dalam veda. Bahasa Sanskerta jenis ini dianggap lebih kuna dan dianggap berhubungan dengan semua hal sakral di India karena berkaitan erat dengan pelaksanaan Homa-Yadnya dan buku-buku Catur Veda ditulis dalam Sanskerta Veda;
Classical Sanskrit adalah Sanskerta yang dipakai dalam sastra-sastra Hindu dan filsafat yang mulai berkembang abad ke-8 sebelum masehi;
Hybrida Sanskrit adalah Sanskerta yang sudah mendapat pengaruh dari bahasa yang berkembang (Winanti, 2004: 2-3).
Dalam perkembangan selanjutnya Classical Sanskrit/ Sanskerta klasik dipakai untuk menuliskan ribuan malahan jutaan teks-teks yang memuat ilmu filsafat, kesusastraan, yadnya, ilmu eksakta, astrologi, astronomi, matematika, dan ilmu lainnya.
Sekitar abad ke-6 sebelum masehi, para pakar Sanskerta yang tinggal di lembah sungai Gangga mulai merasa resah melihat kecendrungan bahasa Sanskerta yang mereka pelihara mulai bergeser dari bentuk yang ditemukan pada catur veda, maka dari itu timbulah perhatian terhadap ilmu fonetik yang dipakai sampai sekarang. Tidak lama kemudian timbul pula sebuah aliran filsafat dan analisa yang bernama vyakarana yang khusus dikembangkan untuk meneliti tata bahasa Sanskerta secara ilmiah. Perlu diketahui bahwa sebenarnya teks-teks bahasa Sanskerta tidak ditulis sampai beberapa abad setelah Panini.
Sejak perkembangan catur Veda dan selanjutnya, pengajaran bahasa Sanskerta diajarkan dengan teknik menghafal yang sangat cerdas, sehingga pemakaian teks-teks tertulis tidak dianggap terlalu penting untuk belajar hal-hal yang dapat dituliskan dengan bahasa Sanskerta; misalnya masalah ilmu pasti, matematika yang dinamakan “trigonometri” selalu dihafal oleh siswa-siswa ilmu matematika di India dibandingkan dengan membaca buku-bulu pegangan.
Penyebaran Sanskerta di Indonesia
Perlu juga diketahui, bahwa dalam perjalanannya ke Indonesia khususnya ke Bali, bahasa Sanskerta sangat berpengaruh sejalan dengan masuknya agama Hindu sekitar tahun 400 sebelum masehi (Soetandi, 2001: 5—7). Kelompok Sanskerta yang berpengaruh di Bali boleh dikatakan ketiganya, karena sampai sekarang baik veda, karya sastra, dan bahasa campuran masih dipakai di Bali. Sehubungan dengan masih digunakannya bahasa Sanskerta di dalam veda, karya sastra, dan termasuk beberapa kata campuran; di beberapa perguruan tinggi yang bergerak dibidang agama dan sastra, bahasa Sanskerta masuk dalam kurikulum (Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 2005: 64—79, 84-89). Dengan demikian bahasa Sanskerta boleh dikatakan memiliki fungsi yang penting bagi kelangsungan umat agama Hindu dan sastra di Bali.
Halaman Kamus Sanskerta – Indonesia dan Kamus Sanskerta – Inggris dapat dilihat pada link dibawah. Mohon diperhatikan kamus Sanskerta ini sebelumnya telah di publikasikan oleh situs web www.sacre-dtexts.com, kunjungi laman berikut https://www.sacred-texts.com/hin/sktdict.txt untuk melihat laman asli kamus Sanskerta – Inggris (Bhs Ingris) atau buka link dibawah untuk melihat laman Kamus Sansekerta dari situs web Puja Shanti. Apabila ditemukan ketidaksesuaian arti terjemahan, mohon untuk memberitahukannya kepada kami.
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Indonesia pada umumnya dan secara khusus merupakan perayaan hari raya besar di Bali, Galungan dirayakan setiap 210 hari menggunakan perhitungan kalender Bali, yaitu jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan (Budha Kliwon Dungulan). Hari raya suci Galungan dirayakan sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Mitologi dan sejarah
Mitologi
Munculnya perayaan hari raya Galungan Konon – dikisahkan seorang asura (raksasa) bernama Mayadenawa. Ia adalah bakta Siva yang sangat tekun, memuja Shiva, ia memohon kekuatan agar mampu melakukan perubahan wujud. Dewa Siwa berkenan muncul dan mengabulkan keinginannya.
Pada akhirnya Mayadenawa menjadi sangat sakti dan mampu melakukan perubahan wujud hingga seribu kali perubahan. Dengan kemampuan itulah raksasa ini menjadi sombong dan menguasai daerah Bali dan sekitarnya, saat itu tidak ada yang mampu untuk mengalahkanya. Ahirnya Dewa Indra turun ke bumi dan melakukan pertarungan dengan Mayadenawa.
Pertarungan berlangsung sengit hingga membuat Dewa Indra mengeluarkan bajra. Singkat cerita raksasa Mayadenawa akhirnya gugur dalam pertarungan tersebut. Kemenangan Dewa Indra melawan raksasa Mayadenawa inilah yang dikenal sebagai Hari Raya Galungan. Sehingga pada hakikat Galungan adalah perayaan menangnya dharma melawan adharma.
Sejarah hari raya Galungan berasal dari kepercayaan Hindu khususnya Bali. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi:
“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Makna dan filosofi
Secara filosofis, Hari Raya suci Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma di dalam diri manusia. Kebahagiaan bisa diraih ketika kita mampu mengendalikan ketidakbenaran dan memiliki kema mpuan untuk menguasai kebenaran.
PerayaanHari raya suci Galungan bertujuan untuk menyatukan kekuatan rohani agar setiap umat mendapat pencerahan serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia. “Dikutip dari: Hindu Alukta“
Rangkaian ucapara hari raya Galungan
Tumpek Wariga
Jatuh pada sabtu kliwon wuku wariga (Saniscara Kliwon wuku Wariga) disebut sebagai Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah. Perayaan ini dilaksanakan 25 hari sebelum hari raya Galungan.
Pada hari Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia.
Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna warni.
Bubuh putih untuk umbi-umbian.
Bubuh bang untuk padang-padangan.
Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif.
Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif.
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubur disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai, kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap (bermonolog):
“Dadong-Dadong I Pekak anak kija
I Pekak ye gelemI Pekak gelem apa dong?
I Pekak gelem ngedNged, nged, nged”
Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugihan Jawa
Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).
Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah.
Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang
Sugihan Bali
Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
Hari Penyekeban
Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan pada Minggu Pahing wuku Dungulan.
Hari Penyajaan
Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan pada Senin Pon wuku Dungulan.
Hari Penampahan
Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti ‘Menyambut’. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah diterima. Penjor merupakan hiasan simbolis yang dibuat dari batang bambu dengan ujung melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa.
Selain membuat penjor umat juga menyembelih hewan ternak seperti babi atau ayam yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap kegiatan upacara, penyembelihan hewan ternak ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Pada hari Penampahan ini diyakini, para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang “menyinggahi” mereka di rumahnya masing-masing.
Hari Raya Galungan
Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung”, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus Makingsan di Pertiwi (mapendem/dikubur), maka umat tersebut akan membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ke Setra / Kuburan saat hari Raya Galungan, banten tersebut terdiri atas punjung disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).
Hari Umanis Galungan
Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.
Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang (Ngelawang adalah sebuah tradisi masyarakat Bali Tengah dan Selatan) di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan
Hari Pemaridan Guru
Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru. Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.
Ulihan
Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.
Hari Pemacekan Agung
Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
Setelah rangkaian ritual hari raya Galungan, kemudian dilanjutkan dengan perayaan hari raya Kuningan.