Agama Hindu – Ancient History Hinduisme
Awal peradaban agama Hindu di Asia tengah
Sejarah Agama Hindu – Hindu atau Hinduisme pertama berkembang dari wilayah Asia Tengah dan Lembah Hindus (Indus) dan merupakan agama tertua di dunia yang masih dipraktikkan hingga saat ini. Istilah ‘Hinduisme’ sendiri adalah sebuah eksonim (kasus julukan, yakni sebutan atau nama yang diberikan pihak luar pada suatu orang, masyarakat, tempat dan atau konsep tertentu) dan berasal dari istilah Persia, Sindus, untuk menyebut mereka yang tinggal di sepanjang sungai Hindus.
Daftar isi
Umat Hindu juga menamai atau mengenal agama mereka sebagai Sanatana Darma (‘Darma Kekal atau Takdir Abadi’). Dan, seperti digariskan dalam kitab pegangan mereka yang dikenal sebagai Weda (Vedas), umat Hindu juga memahami konsep ajaran tersebut manifestasi hakiki dari Brahman (Tuhan), atau Sang Maha-Jiwa (Over Soul) paling mutlak yang dari-Nya segala penciptaan berawal dan sudah dari semestinya berasal. Brahman juga menyatakan Prima Kausa (Sebab Pertama) yaitu sesuatu yang dengan sendirinya serta sudah sepatutnya bergerak (in motion) dan menyebabkan segala sesuatu bergerak, termasuk juga menyatakan penciptaan pertama itu sendiri yang menuntun arah segala penciptaan berikutnya.
Konsep ketuhanan dalam Hindu
Berdasar konsep tersebut, bisa dimaklumi jika banyak orang memahami agama Hindu dengan beragam konsep seperti monoteistik (ada konsep tuhan/dewa tunggal), politeistik (dewa tunggal/utama memiliki banyak dewa pendamping, atau biasa disebut ‘Awatara’ yaitu dewa dengan tugas/cakupan yang lebih spesifik atau lebih kecil dari dewa utama), henoteistik (mengingat pemeluknya bisa bebas memilih dan mengangkat salah satu dewa avatar ke jenjang keilahian yang lebih tinggi), panteistik (mengingat para dewa Awatara tersebut bisa menjadi representasi atau manifestasi dari aspek atau elemen alam), atau bahkan atheistik, mengingat pemeluknya bisa mengganti konsep Brahman dengan dirinya sendiri sebagai upaya pencapaian atau pencarian jati diri yang lebih sempurna.
Sistem kepercayaan ini pertama digariskan secara tertulis dalam manuskrip atau kitab Weda (Vedas) pada masa yang dikenal dengan nama Periode Weda (Vedic Period, berlangsung sekitar 1500 – 500 SM), namun sebenarnya konsep kepercayaan tersebut sudah diturunkan secara lisan jauh sebelum Periode Weda dimulai.
Pendiri Agama Hindu
Hinduisme diketahui tidak memiliki pendiri atau awal waktu yang pasti, juga – berdasarkan ajarannya – tidak diketahui perkembangan pastinya sebagai sebuah sistem kepercayaan; para penulis Weda diketahui hanya mencatatkan (ajaran) yang sudah ada atau muncul sebelumnya. Pengetahuan abadi ini dikenal sebagai shruti (“apa yang didengar”) serta dimaktub dalam Weda beserta bagian-bagiannya yang dinamai Samhita, Aranyaka, Brahmana, dan yang paling terkenal, Upanishad, masing-masing dengan bahasan aspek keimanan yang berbeda.
tujuan hidup adalah mengenali eksistensi kemanunggalan paling mendasar yaitu aspek (jati-)diri yang lebih tinggi dalam tiap individu, melalui ketaatan pada kewajiban hidup individu tersebut.
Berbagai manuskrip di atas dilengkapi dengan naskah jenis lain atau smrti (“apa yang diingat”) yang membeberkan beragam kisah tentang bagaimana seseorang seyogyanya mempraktikkan keimanan. Termasuk dalam naskah jenis ini adalah kitab Purana, epik Mahabharata dan Ramayana, Yoga Sutra, dan Bhagawad Gita. Akan tetapi, tidak satupun dari beragam kitab atau manuskrip di atas bisa dianggap atau dimaknai sebagai “Kitab Suci” agama Hindu mengingat tidak ditemukan klaim bahwa manuskrip tersebut merupakan “Firman Tuhan”; melainkan lebih menyatakan catatan wahyu atas hakikat eksistensi yang mengidealkan semesta bersifat rasional, terstruktur, dan dituntun oleh ) yang esensi-Nya juga mencakup seluruh umat manusia.
Tujuan hidup adalah mengenali eksistensi kemanunggalan paling mendasar yaitu aspek (jati-)diri yang lebih tinggi dalam tiap individu (dikenal sebagai Atma) yang merupakan bagian dari diri sendiri dan Sang Maha-Jiwa. Penyatuan ini dicapai melalui ketaatan pada kewajiban hidup (dharma) individu tersebut dengan melaksanakan tindakan yang sesuai (karma) untuk melepas berbagai ikatan eksistensi yang bersifat duniawi dan lolos dari siklus lahir-mati (samsara). Manakala seseorang telah menuntaskan penyatuan tersebut, jiwa atau Atma-nya akan bergabung bersama Brahman dan karenanya, berpulang kepada kemanunggalan primordial (abadi).
Salah satu hal yang bisa menghalangi seseorang menyadari kemanunggalan tersebut adalah ilusi dualitas (kegandaan) yaitu kepercayaan bahwa seseorang terpisah dari (orang) lain dan Pencipta-nya tersebab dorongan atau dasar pengalaman (hidup) seseorang di dunia fana. Namun, kesalahan konsepsi ini (dikenal sebagai maya) bisa diatasi dengan belajar mengenali esensi kesatuan dari semua eksistensi (seberapa mirip individu dengan sesamanya dan, pada akhirnya, Pencipta-nya) serta terus berupaya mencapai kondisi pencerahan atas aktualisasi-diri.

Perkembangan Awal
Suatu bentuk sistem kepercayaan yang bakal menjadi, atau setidaknya mempengaruhi, Hinduisme kemungkinan besar muncul di wilayah Lembah Hindus (Indus) sejak sebelum milenium ketiga SM, yakni ketika sebuah koalisi suku-suku nomadik yang menyebut diri mereka sebagai suku Arya mulai masuk ke wilayah Asia Tengah. Sebagian dari kelompok suku ini memilih menetap di wilayah yang disebut Iran pada masa modern (karenanya saat ini mereka dinamakan Indo-Iranian dan beberapa dari mereka nantinya dikenal di dunia Barat sebagai bangsa Persia). Sementara sebagian lain dari koalisi suku Arya lebih memilih bertempat tinggal di wilayah Lembah Hindus (karenanya disebut sebagai Indo-Aryan pada masa kini).
Tersebab inilah nama atau istilah ‘Arya’, yang juga bisa diartikan “orang merdeka (free man)” atau “luhur (noble)”, sebenarnya lebih mengacu pada kelompok atau kelas masyarakat dan tidak sama sekali menyatakan sebuah konsep ras. Karena itu mitos atau cerita lama tentang “Invasi suku Arya” yang percaya bahwa ras Kaukasia “membawa peradaban” pada wilayah ini sebenarnya lebih menyatakan hasil pemikiran cupat dan prasangka para ilmuwan Barat abad ke18 dan ke-19, serta telah sejak lama ditolak atau dianulir.
Fakta dari sisa reruntuhan kota seperti Mohenjo-daro dan Harappa (sekedar menyebut dua nama yang paling terkenal) menunjukkan bahwa sebuah peradaban yang sangat maju telah berkembang pesat di wilayah Lembah Sungai Hindus pada sekitar 3000 SM, yang lahir dari pemukiman Periode Neolitik pada tahun-tera sebelum 7000 SM. Saat ini, periode tersebut dinamai sebagai era Peradaban Lembah Hindus atau Peradapan Harappa (sekitar 7000 hingga 600 SM) yang nantinya akan dipengaruhi dan bercampur dengan budaya dari suku Indo-Aryan.
Pada sekitar 2000 SM, kota agung Mohenjo-daro telah memiliki jalanan dari batu bata, irigasi, dan sistem industri, dagang dan politik yang sudah sangat maju. Hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat kota ini juga mengembangkan sistem religi yang melibatkan ritual pemandian dan peribadatan lainnya, namun tidak ditemukan bukti tertulis yang bisa menguatkan pendapat ini. Yang lebih diyakini (para ilmuwan) adalah apapun bentuk yang diambil sistem keagamaan tersebut, banyak elemennya yang signifikan berasal dari sumber luar seperti halnya dasar pemikiran Weda (termasuk banyaknya nama dan karakterisasi para dewa) sangat dekat terhubung dengan Agama Iran Masa Awal dari bangsa Persia.
Periode Weda
Agama pada masa awal Lembah Hindus berkembang melalui pengaruh berbagai kedatangan baru selama Periode Weda. Pada masa ini, sistem kepercayaan yang dikenal dengan nama Wedaisme (Vedism) dikembangkan oleh golongan yang juga disebut masyarakat Weda (Vedic people). Mereka menulis dalam bahasa Sansekerta, yakni bahasa yang sepenuhnya digunakan menyusun kitab Weda.
Cendekia John M. Koller mencatatkan:
Bahasa Sansekerta, darinya kitab Weda menyatakan bukti ekspresi tertua yang masih bertahan, menjadi (bahasa) dominan. Sekalipun tradisi Sansekerta merefleksikan berbagai bentuk adopsi dan akomodasi dari banyak sumber non-Weda, (tradisi) ini lebih menutupi dibanding menampakkan berbagai kontribusi tersebut. Karenanya, alih-alih berpaling kepada kebesaran peradaban Hindus kuno, justru pada (kitab) Weda kita seharusnya berpaling jika ingin lebih memahami pemikiran bangsa India pada masa paling awal. (16)
Kitab Weda berupaya memaknai hakikat dari eksistensi dan tempat individu pada tataran kosmis. Sebagai upaya menjawab pertanyaan tersebut, para alim (sages) tersebut mengembangkan sistem teologi canggih yang nantinya menjadi Hinduisme.
Konsep Brahman
Wedaisme beralih menjadi Brahmanisme, yakni sebuah sistem religi yang berfokus pada Kebenaran dasar, Prima Kausa, segala bentuk fenomena atau aspek eksistensi, baik kasat maupun limun. Para alim yang mengembangkan Brahmanisme memulai (ajaran) dengan dunia kasatmata yang beroperasi berdasar aturan tertentu. Mereka menyebut aturan ini sebagai rita (“tatanan”) dan menyimpulkan bahwa sebelum rita atau tatanan muncul, harus ada sesuatu yang muncul dan ada terlebih dahulu untuk membuatnya; singkatnya, tidak akan mungkin ada ciptaan tanpa penciptanya.
Pada masa tersebut, ada banyak dewa dalam pantheisme Weda yang bisa atau pantas menjadi kandidat Prima Kausa, namun telaah para alim ini justru melampaui ancang-keilahian yang antropomorfik dan berhasil menemukan, seperti dijabarkan Koller, bahwa “ada sebuah keutuhan, suatu realita tak-berbelah, yang bahkan lebih mendasar dari sekedar entitas fana atau baka” (19). Entitas ini kemudian digagaskan sebagai sebuah individu namun dengan sosok yang sangat hebat dan berkuasa melebihi pemahaman manusia. Sosok yang kemudian mereka sebut sebagai Brahman ini tidak hanya berada dalam realita alam fana (seperti makhluk lainnya) atau realita alam baka (seperti makhluk gaib atau bahkan pra-eksistensi), namun sebenarnya juga wujud dari realita itu sendiri. Brahman tidak hanya menyebabkan kenyataan menjadi seperti adanya saat ini; dia juga wujud dari kenyataan saat ini, sejak dulu dan terkemudian. Karenanya, Sanatana Darma – Takdir Abadi – dimaktub sebagai nama dari sistem kepercayaan ini.
Masalahnya, jika benar demikian adanya, individu fana dan non-mutlak yang hanya memiliki masa hidup singkat di dunia ini bakal susah memiliki harapan untuk terhubung dengan entitas pamungkas dari sumber kehidupan tersebut. Karena Brahman berada di luar jangkauan, tidak ada bentuk relasi atau hubungan yang mungkin terjadi. Menjawab masalah ini, para alim Weda mengalihkan perhatian mereka dari Prima Kausa kepada individu dan mendefinisikan aspek diri menjadi badan fisik, jiwa, dan benak. Namun, tidak satupun dari aspek ini yang cukup mampu membuat hubungan dengan Sang Pamuncak hingga individu tersebut mampu memahami bahwa ada diri yang lebih tinggi (jati-diri) yang menuntun fungsi semua aspek individu tersebut. Koller memberikan tanggapan:
(Jati-)Diri ini dikatakan sebagai “bukan yang diketahui dan bukan yang tidak diketahui” [ Upanishad I.4]. Pertanyaan yang diajukan para alim adalah: Apa yang membisakan kita melihat, mendengar, dan bernalar? Tapi pertanyaan ini bukan tentang proses fisiologis pun mental, melainkan tentang ‘subjek-pamungkas’ yang memahami. Siapa yang menuntun mata melihat warna dan benak menggagas pemikiran? Para alim kemudian mengasumsikan bahwa harus ada semacam penuntun internal, atau agen dari dalam, yang bertindak mengarahkan berbagai fungsi pengetahuan. (24)
“Penuntun internal” ini disebut sebagai Atma – jati-diri yang lebih tinggi dari tiap individu – sekaligus terhubung dengan Brahman karena Atma juga Brahman. Semua individu sudah membawa Kebenaran Hakiki dan Prima Kausa dalam dirinya masing-masing. Karenanya, tidak ada alasan untuk mencari entitas tersebut di luar individu itu sendiri mengingat setiap diri sudah memilikinya dari dalam; seseorang hanya perlu untuk menyadari kebenaran ini sebelum bisa menjalaninya.
Inilah yang diekspresikan Chandogya Upanishad VI.8.7 dalam ungkapan Tat Tvam Asi – “Itu adalah engkau, engkau adalah Dia” – seseorang sudah menjadi apa yang dicarinya; dia hanya perlu menyadari hal tersebut. – (Tat Twam Asi mengandung arti bahwa ‘itu adalah engkau, engkau adalah dia’. Kata ‘itu’ bermakna sebagai Brahman atau Sumber segala kehidupan. Sedangkan kata ‘engkau’ adalah merupakan Atman atau jiwa yang menghidupi semua makhluk. “Tat Tvam Asi” dapat maknai bahwa jiwa yang bersemayam dalam setiap manusia adalah berasal dari sumber yang sama yaitu Brahman atau Tuhan sendiri) – sumber: kemendag DIY
Pencapaian kesadaran ini juga dimotivasi melalui berbagai ritual yang tidak hanya memuja Brahman, namun juga menghidupkan kembali segala bentuk penciptaan. Kaum pendeta (Brahmana), ketika mengkhusukkan diri pada Sang Maha-Pamungkas melalui berbagai rapalan, mantra dan kidung dari Weda, juga mengkhusukkan umat dengan cara menegaskan fakta bahwa mereka sebenarnya sudah sampai di tempat yang ingin mereka tuju, mereka bukan sekedar hadir di antara para Ilahi namun juga menjadi bagian tak terpisah dari keilahian tersebut, dan yang perlu mereka lakukan hanyalah menyadari kenyataan ini dan memuliakannya dengan berprilaku sesuai kewajiban yang telah digariskan secara ilahiah dalam kehidupan yang bertujuan menegakkan kewajiban tersebut, terlepas dari apapun bentuk yang dianut pemeluknya, tujuan utama hinduisme adalah pengenalan-diri; dalam mengenali diri, seseorang akan mengenali tuhannya.
Hinduisme Klasik
Brahmanisme kemudian berkembang menjadi sistem yang sekarang dikenal dengan Hinduisme dan, meskipun dianggap kebanyakan orang sebagai agama, juga dianggap oleh sebagian sebagai jalan hidup dan filsafat. Terlepas dari apapun bentuk yang dianut pemeluknya, tujuan utama Hinduisme adalah pengenalan-diri; dalam mengenali diri, seseorang akan mengenali Tuhannya. Kejahatan datang dari kelalaian mengetahui apa itu kebaikan; karenanya, pengetahuan tentang kebaikan bisa menolak kejahatan.
Tujuan hidup seseorang untuk mengenali nilai kebaikan tersebut serta berupaya mencapainya sesuai kewajiban tertentu (darma) masing-masing, dan segala tindakan yang terlibat sebagai kepatuhan dari upaya pencapaian tersebut menjadi karma orang itu sendiri. Karena itu, semakin patuh seseorang menjalankan karma-nya sesuai dengan darma-nya, semakin dekat jarak mencapai aktualisasi-diri dan, dengan sendirinya, makin dekat menyadari (unsur) Keilahian dalam dirinya.
Konsep Moksha
Dunia fana hanyalah ilusi senyampang kefanaan tersebut menambah keyakinan seseorang akan dualitas dan kejarakan. Orang boleh saja memutar punggung dan berbalik haluan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa-religi, namun Hinduisme juga sebenarnya mendorong partisipasi penuh dalam kehidupan melalui purusharthas – target hidup – yang terdiri atas:
- Artha – karir, tempat tinggal, kekayaan material seseorang.
- Kama – cinta, seksualitas, sensualitas, kenikmatan.
- Moksha – pembebasan, pencerahan, aktualisasi-diri
Jiwa merasakan kenikmatan dalam melakukan pengejaran duniawi, sekalipun sebenarnya menyadari semua kesenangan tersebut hanyalah semu atau sementara. Jiwa adalah kekal – selalu telah menjadi bagian dari Brahman dan akan abadi – karenanya kematian sebagai akhir hanyalah ilusi.
Pada peristiwa kematian, jiwa meninggalkan badan (wadah) dan akan mengalami reinkarnasi jika gagal mencapai Moksha, atau jika berhasil, sang Atma akan menjadi satu dengan Brahman dan kembali ke rumah yang kekal. Siklus kelahiran dan kematian ini, atau dinamai samsara, akan tetap berlanjut hingga sang jiwa merasa ‘kenyang’ atas pengalaman dan kenikmatan duniawi sebelum beralih memusatkan perhatian pada kehidupan yang berpijak pada kedekatan dan pencapaian hal-hal yang bersifat hakiki ketimbang semu.
Terdapat tiga kualitas atau karakteristik bawaan, yang disebut guna, pada semua jiwa yang bisa membantu atau bahkan menghalangi mencapai tujuan tersebut:
- Sattva – kearifan, kebaikan, kedekatan pada pencerahan.
- Rajas – intensitas yang bergairah, aktivitas konstan, agresi.
- Tamas – secara harfiah “tertiup angin”, kegelapan, kebingungan, keputusasaan
Guna tidak menyatakan tahapan yang harus ‘ditempuh satu-persatu’ mulai paling bawah hingga atas; melainkan ketiga kualitas tersebut telah ada pada semua jiwa dalam derajat yang lebih besar atau lebih kecil. Orang yang biasanya berperangai tenang dan hidup dengan baik masih sangat mungkin terseret gairah atau berpupus asa berkepanjangan. Oleh sebab itu, mengenali fungsi keberadaan guna yang sebenarnya, dan terus berupaya untuk mengendalikan aspek-aspek gunas yang kurang diinginkan, bakal membantu seseorang melihat lebih jelas dharma-nya sendiri dan bagaimana cara yang tepat untuk memenuhinya.
Dharma tiap manusia hanya bisa dipenuhi atau dituntaskan sendiri; tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa seseorang memenuhi kewajiban atau darma orang lain. Semua individu terlahir di dunia dengan peran khusus yang wajib dituntaskannya, jika individu tersebut memilih untuk tidak melaksanakan perannya dalam kehidupan sekarang, dia akan kembali dalam (kehidupan) lain, dan lainnya, dan seterusnya hingga perannya dituntaskan.
Konsep sistem Varna
Proses tersebut sering terhubung dengan sistem Varna dalam Hinduisme yang menempatkan seseorang terlahir pada satu tingkat tertentu dan tidak bisa diubah dengan cara apapun. Sepanjang hidupnya, orang tersebut diwajibkan memenuhi fungsi khusus sesuai Varna-nya dan akan bereinkarnasi jika gagal menuntaskan kewajiban dengan baik. Namun, tidak seperti kebanyakan anggapan, konsep ini tidak diterap-paksakan oleh pemerintah kolonial Inggris pada abad ke-19 Masehi pada masyarakat India, sebaliknya telah pertama kali dimaktub dalam Bhagawad Gita (disusun sekitar abad ke-5 hingga ke-2 SM) pada saat Krisna menjelaskan gunas dan tanggung jawab terkait dharma kepada Arjuna.
Krisna menyebutkan bahwa tiap individu wajib menuntaskan hal yang sudah seharusnya dituntaskannya dan menghubungkan kewajiban ini dengan sistem varna, untuk menjelaskan bagaimana manusia sepatutnya hidup sesuai tuntunan Takdir Ilahi. Siapapun bisa menjadi pendeta, ksatria, atau pedagang jika ini memang dharma mereka; sistem ini sudah menjadi bawaan dalam diri seseorang seperti laiknya kualitas guna. Wejangan Krisna nantinya akan direvisi dan dimaktub dalam manuskrip yang dikenal sebagai Manusmriti (“Hukum Manu”).
Naskah ini disusun mulai abad ke-2 SM hingga abad ke-3 Masehi dan menyatakan bahwa sistem Varna yang ketat telah digariskan sebagai bagian dari Kehendak Ilahi dan mentakdirkan tiap manusia – di sepanjang kehidupannya – berada dalam status sosial tempatnya dilahirkan. Hukum Manu adalah naskah pertama yang menyatakan konsep tersebut sebagaimana dimaknai hingga saat ini.
Disclaimer dan sumber artikel
Keseluruhan isi artikel pada halaman ini merupakan repost/posting ulang dari artikel yang sebelumnya telah di publikasikan pada situs web Ancient History – Ensiklopedia sejarah kuno. Beberapa isi telah kami edit tanpa mengubah makna dan isi keseluruhan artikel, dengan tujuan mempermudah pengunjung memahami isi artikel. Ancient History – Ensiklopedia Sejarah Kuno adalah organisasi nirlaba yang menerbitkan ensiklopedia sejarah paling banyak dibaca di dunia. Selengkapnya tentang Ancient History lihat halaman berikut: www.ancient.eu/static/about/
Judul asli artikel: Ancient History – Hinduisme oleh Joshua J. Mark – lihat profil penulis pada halaman berikut: www.ancient.eu/user/JPryst/
Diterjemahkan kedalam Basaha Indonesia oleh Prof. M. Nasrul Chotib. Lihat profil penerjemah pada halaman berikut: www.ancient.eu/user/nasrulchotib/ dipublikasikan 08 Juni 2020 di situs web www.ancient.eu