Share this post on:

Tradisi dan ritual suci hari raya Galungan

Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Indonesia pada umumnya dan secara khusus merupakan perayaan hari raya besar di Bali, Galungan dirayakan setiap 210 hari menggunakan perhitungan kalender Bali, yaitu jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan (Budha Kliwon Dungulan). Hari raya suci Galungan dirayakan sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

Mitologi dan sejarah

Mitologi

Munculnya perayaan hari raya Galungan Konon – dikisahkan seorang asura (raksasa) bernama Mayadenawa. Ia adalah bakta Siva yang sangat tekun, memuja Shiva, ia memohon kekuatan agar mampu melakukan perubahan wujud. Dewa Siwa berkenan muncul dan mengabulkan keinginannya.

Pada akhirnya Mayadenawa menjadi sangat sakti dan mampu melakukan perubahan wujud hingga seribu kali perubahan. Dengan kemampuan itulah raksasa ini menjadi sombong dan menguasai daerah Bali dan sekitarnya, saat itu tidak ada yang mampu untuk mengalahkanya. Ahirnya Dewa Indra turun ke bumi dan melakukan pertarungan dengan Mayadenawa.

Pertarungan berlangsung sengit hingga membuat Dewa Indra mengeluarkan bajra. Singkat cerita raksasa Mayadenawa akhirnya gugur dalam pertarungan tersebut. Kemenangan Dewa Indra melawan raksasa Mayadenawa inilah yang dikenal sebagai Hari Raya Galungan. Sehingga pada hakikat Galungan adalah perayaan menangnya dharma melawan adharma.

Lihat juga; Sejarah agama Hindu

Sejarah

Sejarah hari raya Galungan berasal dari kepercayaan Hindu khususnya Bali. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi:

“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Makna dan filosofi

Secara filosofis, Hari Raya suci Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma di dalam diri manusia. Kebahagiaan bisa diraih ketika kita mampu mengendalikan ketidakbenaran dan memiliki kema
mpuan untuk menguasai kebenaran.

PerayaanHari raya suci Galungan bertujuan untuk menyatukan kekuatan rohani agar setiap umat mendapat pencerahan serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia. “Dikutip dari: Hindu Alukta

Rangkaian ucapara hari raya Galungan

Tumpek Wariga

Jatuh pada sabtu kliwon wuku wariga (Saniscara Kliwon wuku Wariga) disebut sebagai Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah. Perayaan ini dilaksanakan 25 hari sebelum hari raya Galungan.

Galungan Galungan

Pada hari Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia.

Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna warni.

  • Bubuh putih untuk umbi-umbian.
  • Bubuh bang untuk padang-padangan.
  • Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif.
  • Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif.

Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubur disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai, kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap (bermonolog):

“Dadong-Dadong I Pekak anak kija

I Pekak ye gelemI Pekak gelem apa dong?

I Pekak gelem ngedNged, nged, nged”

Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.

Sugihan Jawa

Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).

Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah.

Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang

Sugihan Bali

Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang

Hari Penyekeban

Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan pada Minggu Pahing wuku Dungulan.

Hari Penyajaan

Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan pada Senin Pon wuku Dungulan.

Hari Penampahan

Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti ‘Menyambut’. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah diterima. Penjor merupakan hiasan simbolis yang dibuat dari batang bambu dengan ujung melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa.

Selain membuat penjor umat juga menyembelih hewan ternak seperti babi atau ayam yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap kegiatan upacara, penyembelihan hewan ternak ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia.

Pada hari Penampahan ini diyakini, para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang “menyinggahi” mereka di rumahnya masing-masing.

Hari Raya Galungan

Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung”, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.

Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus Makingsan di Pertiwi (mapendem/dikubur), maka umat tersebut akan membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ke Setra / Kuburan saat hari Raya Galungan, banten tersebut terdiri atas punjung disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).

Hari Umanis Galungan

Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.

Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang (Ngelawang adalah sebuah tradisi masyarakat Bali Tengah dan Selatan) di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan

Hari Pemaridan Guru

Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru. Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.

Ulihan

Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.

Hari Pemacekan Agung

Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.

Setelah rangkaian ritual hari raya Galungan, kemudian dilanjutkan dengan perayaan hari raya Kuningan.

Share this post on: