Kitab suci weda – Manuskrip & Ritual
Manuskrip Kitab suci Weda
Kitab suci Weda, dianggap mereproduksi suara yang tepat dari alam semesta pada saat penciptaan dan seterusnya, sehingga sebagian besar berbentuk himne dan nyanyian. Dalam melafalkan Veda, seseorang dianggap benar-benar berpartisipasi dalam nyanyian kreatif alam semesta yang melahirkan segala sesuatu yang dapat diamati dan tidak dapat diamati sejak awal waktu. Rig Veda menetapkan standar dan nada yang dikembangkan oleh Sama Veda dan Yajur Veda sementara karya terakhir, Atharva Veda, mengembangkan visinya sendiri yang diinformasikan oleh karya-karya sebelumnya tetapi mengambil jalan aslinya sendiri.
Daftar isi
Jenis jenis kitab suci Veda
Kitab suci veda terbagi dalam dua golongan yaitu:
- Shruti (“apa yang didengar”) – catatan wahyu tentang hakikat eksistensi sebagaimana para penulis Weda “mendengar” dan mencatatkannya dalam kitab tersebut.
- Smrti (“apa yang diingat”) – cerita para pahlawan agung dari masa lalu dan bagaimana mereka berhasil – atau gagal – menjalankan tugas/kewajiban sesuai kehendak Takdir Abadi.
Kitab Shruti
Naskah yang menjabarkan Shruti terdapat dalam Empat bagian utama kitab suci Weda:
- Rig Weda – kitab Weda tertua, berisi kumpulan himne atau syair
- Sama Weda – catatan, rapalan dan kidung liturgi (peribadatan massal)
- Yajur Weda – tatanan ritual, mantra, rapalan
- Atharwa Weda – jampi/mantra (spells), rapalan, himne/syair, doa.
Rig Veda
Rig Veda adalah karya kitab suci weda tertua yang terdiri dari 10 buku (dikenal sebagai mandala) 1.028 himne 10.600 ayat. Ayat ini memusatkan perhatian pada ketaatan dan praktik religius yang benar, berdasarkan getaran universal seperti yang diimplementasikan oleh orang bijak yang pertama kali mendengarnya, tetapi juga membahas pertanyaan tentang keberadaan.
Komentar Koller: Pemikir Veda mengajukan pertanyaan tentang diri mereka sendiri, dunia di sekitar mereka, dan tempat mereka di dalamnya. Apa yang dipikirkan? Apa sumbernya? Mengapa angin bertiup? Siapa yang menempatkan matahari – pemberi kehangatan dan cahaya – di langit? Bagaimana mungkin bumi menghasilkan banyak sekali bentuk kehidupan ini? Bagaimana kita mengetahui keberadaan kita dan menjadi utuh? Pertanyaan tentang bagaimana, apa, dan mengapa merupakan awal dari refleksi filosofis.
Refleksi filosofis ini mencirikan esensi Hinduisme di mana inti dari keberadaan pribadi adalah mempertanyakannya ketika seseorang bergerak dari kebutuhan dasar hidup menuju aktualisasi diri dan persatuan dengan Yang Ilahi. Rig Veda mendorong pertanyaan semacam ini melalui himne kepada berbagai dewa – khususnya Agni , Mitra, Varuna, Indra , dan Soma – yang pada akhirnya akan dilihat sebagai avatar dari Yang Tertinggi Di Atas Jiwa, Penyebab Pertama, dan sumber keberadaan, Brahman. Menurut beberapa aliran pemikiran Hindu, Weda disusun oleh Brahman yang nyanyiannya didengar oleh para resi.
Sama Veda
Sama Veda (“Pengetahuan Melodi” atau “Pengetahuan Lagu”) adalah bagian kitab suci weda yang meruoakan karya lagu liturgi, nyanyian, dan teks yang dimaksudkan untuk dinyanyikan. Isinya hampir seluruhnya berasal dari Rig Veda dan, seperti yang diamati oleh beberapa sarjana, Rig Veda berfungsi sebagai lirik melodi Sama Veda. Ini terdiri dari 1.549 syair dan dibagi menjadi dua bagian: gana (melodi) dan arcika (syair). Melodinya dianggap mendorong tarian yang jika digabungkan dengan kata-kata akan mengangkat jiwa.
Yajur Veda
Yajur Veda (“Pengetahuan Ritual dan Pemujaan”) terdiri dari pelafalan, formula ritual penyembahan, mantra, dan nyanyian yang terlibat langsung dalam kebaktian. Seperti Sama Veda, isinya berasal dari Rig Veda tetapi fokus dari 1.875 ayatnya adalah pada liturgi perayaan keagamaan. Ini umumnya dianggap memiliki dua “bagian” yang bukan merupakan bagian yang berbeda tetapi karakteristik sama dari keseluruhan. “Yajur Veda gelap” mengacu pada bagian-bagian yang tidak jelas dan tertata dengan buruk sedangkan “Yajur Veda terang” berlaku untuk ayat-ayat yang lebih jelas dan tersusun lebih baik.
Atharva Veda
Atharva Veda (“pengetahuan tentang Atharvan”) berbeda secara signifikan dari tiga kitab suci Weda pertama, Atharva Veda terdapat mantra magis untuk menangkal roh jahat atau bahaya, nyanyian, himne, doa, ritual inisiasi, upacara pernikahan dan pemakaman, dan pengamatan pada kehidupan sehari-hari. Nama tersebut diduga berasal dari Rsi bijak bernama Atharvan yang disinyalir terkenal sebagai penyembuh dan inovator religius.
Diperkirakan bahwa karya tersebut disusun oleh seorang individu atau individu yang kira-kira pada waktu yang sama dengan Sama Veda dan Yajur Veda (sekitar 1200-1000 SM). Atharvaveda terdiri dari 20 buku dari 730 himne beberapa di antaranya diambil dari Rig Veda. Sifat dari karya tersebut, bahasa yang digunakan, dan bentuknya telah menyebabkan beberapa teolog dan sarjana menolaknya sebagai Weda yang otentik di masa sekarang.
Masing-masing kitab di atas selanjutnya dipisahkan dalam beberapa jenis:
- Aranyaka – ritual, peribadatan
- Brahmana – ulasan tentang ritual dan tata cara peribadatan yang menjelaskan ritual tersebut
- Samhita – pemberkatan, doa, mantra
- Upanishad – ulasan filosofis terkait makna kehidupan dan Weda.
Upanishad dianggap sebagai “akhir dari kitab suci weda” seperti pada kata terakhir dalam teks. Istilah Upanishad berarti “duduk dekat” seperti yang dilakukan siswa dengan guru untuk menerima beberapa informasi yang tidak dimaksudkan untuk seluruh kelas. Upanishad dalam masing-masing Veda mengomentari teks atau mengilustrasikannya melalui dialog dan narasi sehingga memperjelas bagian atau konsep yang sulit atau tidak jelas.
Kitab Smrti
Naskah yang termasuk Smrti adalah:
- Purana – cerita rakyat dan legenda/mitologi tentang berbagai tokoh dari masa lalu
- Ramayana – kisah kepahlawanan Sri Rama dan perjalanannya mencapai aktualisasi-diri
- Mahabharata – kisah kepahlawanan lima Pandawa dan perang menghadapi Kurawa
- Bhagawad Gita – kisah populer berisi wejangan tentang darma dari Krisna kepada Arjuna
- Yoga Sutra – ulasan terkait berbagai disiplin yoga dan pembebasan-diri
Naskah Dewa-Dewi dalam kitab suci weda
Semua naskah tersebut juga menyinggung atau secara khusus membahas berbagai dewa lain seperti:
- Indra, penguasa kekuatan alam, petir, badai, perang dan keberanian;
- Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, nurani (kesadaran), tutur-bahasa (speech) dan komunikasi;
- Agni, dewa api (iluminasi);
- Kali, dewi kematian;
- Ganesha, dewa berkepala gajah, pencabut aral (halangan);
- Parwati, dewi cinta, kesuburan, kekuatan, juga sebagai sakti dewa Siwa;
- Soma, dewa laut, kesuburan, dan kesenangan.
Di antara yang paling utama dari dewa-dewa tersebut adalah tiga dewa yang menyatakan “Trinitas Hindu”:
Brahma – Sang Pencipta. Wisnu – Sang Penjaga Siwa – Sang Pemusnah
Semua dewa tersebut adalah manifestasi dari Brahman, Sang Pamuncak Realita, yang hanya bisa dimaknai melalui aspek Keilahian-Nya sendiri. Brahma, Wisnu dan Siwa adalah bagian dari aspek tersebut sekaligus menyatakan individu ilahiah tersendiri dengan karakterisasi, motivasi dan kehendak masing-masing. Mereka juga bisa dimaknai melalui awatara (bentuk titisan) masing-masing, mengingat [wujud ilahiah] mereka terlalu kompleks atau luar biasa untuk dipahami sendiri, karenanya mereka mengambil bentuk dewa-dewa lain. Contoh yang paling terkenal adalah Krisna sebagai Awatara (Titisan) Wisnu, dewa yang secara berkala datang ke dunia untuk menuntun pahaman sekaligus melakukan koreksi atas kesalahan umat manusia.
Dalam kisah Bhagawad Gita, Krisna sengaja berlakon sebagai sais kereta perang Arjuna karena menyadari sang Pangeran bakal berberat hati memerangi para sepupunya sendiri di padang laga Kurusetra. Krisna menghentikan jenak waktu untuk memberikan wejangan pada Arjuna tentang hakikat dharma dan ilusi atas kematian sebagai akhir kehidupan. Wejangan tersebut mengkhusukkan benak Arjuna yang sebelumnya terbebani keraguan atas kondisi kekinian (present circumstances), dan membantunya menuntaskan kewajiban sebagai ksatria.
Ritual Persembahyangan agama Hindu
Semua naskah tersebut di atas juga memberikan informasi tentang tata cara peribadatan religi bagi para penganut Sanatana Darma dan, secara garis besar, memiliki dua aspek:
- Puja – sembahyang, ritual, yadnya (kurban atau sesembahan), dan doa yang bisa dilakukan di tempat keramat (shrine) untuk dewa tertentu atau di kuil.
- Darsha– kontak visual secara langsung dengan patung dewa
Setiap orang bisa menyembah Ilahi-nya di rumahnya sendiri, di tempat keramat (shrine) bagi dewa tertentu dan atau di kuil besar. Di kuil, para pendeta biasanya membantu peziarah dan keluarganya dengan bertindak selaku perantara bagi mereka dengan para dewa melalui beragam petuah, rapalan, kidung dan doa. Karenanya, berbagai bentuk nyanyian, tarian dan gerakan tertentu sering mencirikan pelayanan religi sebagai bentuk ekspresi individu di hadapan Tuhan-nya. Elemen penting lain dalam ritual keagamaan semacam ini adalah kontak visual dengan mata ilahi yang direpresentasikan melalui patung atau sosok-bentukan (figurin).
Pada latar-makna tertentu, darsha menjadi elemen vital dalam persembahyangan (komuni) karena para dewa tersebut juga sedang mencari para pengikutnya dengan sama tulusnya seperti pengikutnya mencari mereka, sebelum akhirnya bertemu dan bertatap mata. Konsep ini menjelaskan alasan kuil-kuil Hindu banyak dihias dengan beragam figur atau patung dewa, baik di bagian luar maupun bagian dalam kuil. Patung tersebut diyakini sebagai jelmaan langsung dewa itu sendiri dan para pengikutnya bisa memperoleh keberkahan dan pelipuran melalui kontak mata seperti saat bersua dengan teman.
Festival agama Hindu
Hubungan antara pemeluk kepercayaan dan ilahinya seperti ini tampak jelas melalui berbagai festival yang dirayakan di sepanjang tahun. Salah satu dari yang paling populer adalah Diwali, atau Festival Cahaya, yang memperingati kemenangan energi-terang dan cahaya melawan kekuatan negatif dan kegelapan. Pada festival ini, seperti laiknya peribadatan sehari-hari, kehadiran figur atau patung ilahi penting dibutuhkan untuk membangun koneksi dan mengkhusukkan benak pemeluknya.
Diwali bisa jadi merupakan contoh terbaik dari disiplin Bhakti Yoga yang berkhusus pada kecintaan terhadap kebaktian dan pelayanan. Masyarakat bersama-sama membersihkan, merenovasi, menghias dan memperbaiki lingkungan tempat tinggal mereka sebagai penghargaan sekaligus ucapan syukur atas segala anugrah yang telah diberikan oleh Laksmi, dewi kesuburan dan kemakmuran. Namun, bisa sangat mungkin berbagai dewa lain akan menggantikan Laksmi dan dipuja saat Diwali, bergantung pada kebutuhan penganutnya dan anugrah apa yang telah mereka terima setahun belakangan ini.
Pada akhirnya, sosok dewa secara individu menjadi tidak penting mengingat semua dewa bersumber pada aspek Brahman seperti halnya si pemuja dan ritual pemujaannya. Detil peribadatan juga tidak penting ketika dibandingkan dengan esensi peribadatan itu sendiri yang mengakui tempat seseorang dalam maharaya-semesta dan meneguhkan komitmen penganutnya untuk menerima kemanunggalan ilahi dalam semua aspek kehidupan, serta hubungan antar-sesama penganut yang sedang berjalan pulang ke rumah yang sama.
Disclaimer dan sumber artikel
Judul asli artikel: Ancient History – Hinduisme oleh Joshua J. Mark – lihat profil penulis pada halaman berikut: www.ancient.eu/user/JPryst/